Oṁ Swastyastu,
Upacāra mapandes disebut pula matatah, masangih yang dimaksud adalah
memotong atau meratakan empat gigi seri dan dua taring kiri dan kanan,
pada rahang atas, yang secara simbolik dipahat 3 kali, diasah dan
diratakan. Rupanya dari kata masangih, yakni mengkilapkan gigi yang
telah diratakan, muncul istilah mapandes, sebagai bentuk kata halus
(singgih) dari kata masangih tersebut.
Bila kita mengkaji lebih jauh, upacāra Mapandes dengan berbagai
istilah atau nama seperti tersebut di atas, merupakan upacāra Śarīra
Saṁskara, yakni menyucikan diri pribadi seseorang, guna dapat lebih
mendekatkan dirinya kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Hyang Widhi, para
dewata dan leluhur. Di Bali upacāra ini dikelompokkan dalam upacāra
Manusa Yajña.
- Adapaun makna yang dikandung dalam upaca mapandes ini adalah:Sebagai simbolis meningkatnya seorang anak menjadi dewasa, yakni manusia yang telah mendapatkan pencerahan, sesuai dengan makna kata dewasa, dari kata devaṣya yang artinya milik dewa atau dewata. Seorang telah dewasa mengandung makna telah memiliki sifat dewata (Daivi sampad) seperti diamanatkan dalam kitab suci Bhagavadgītā.
- Memenuhi kewajiban orang tua, ibu-bapa, karena telah memperoleh kesempatan untuk beryajña, menumbuh-kembangkan keperibadian seorang anak, sehingga anak tersebut mencapai kedewasaan, mengetahui makna dan hakekat penjelmaan sebagai umat manusia.
- Secara spiritual, seseorang yang telah disucikan akan lebih mudah menghubungkan diri dengan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, kelak bila yang bersangkutan meninggal dunia, Ātma yang bersangkutan akan bertemu dengan leluhurnya di alam Piṭṛa (Piṭṛaloka).
Berdasarkan pengertian dan makna upacāra Mapandes seperti tersebut di
atas, dapatlah dipahami bahwa upacāra ini merupakan upacāra
Vidhi-vidhana yang sangat penting bagi kehidupan umat Hindu, yakni
mengentaskan segala jenis kekotoran dalam diri pribadi, melenyapkan
sifat-sifat angkara murka, Sadripu (enam musuh dalam diri pribadi
manusia) dan sifat-sifat keraksasaan atau Asuri-Sampad lainnya. Dalam
lontar Pujakalapati dinyatakan, seseorang yang tidak melakukan upacāra
Mapandes, tidak akan dapat bertemu dengan roh leluhurnya yang telah
suci, demikian pula dalam Ātmaprasangsa dinyatakan roh mereka yang tidak
melaksanakan upacāra potong gigi mendapat hukuman dari dewa Yāma
(Yāmādhipati) berupa tugas untuk menggit pangkal bambu petung yang keras
di alam neraka (Tambragomuka), dan bila kita hubungkan dengan kitab
Kālatattwa, Bhatāra Kāla tidak dapat menghadap dewa bila belum keempat
gigi seri dan 2 taring rahang bagian atasnya belum dipanggur. Demikian
pula dalam kitab Smaradahana, putra Sang Hyang Śiva, yakni Bhatāra Gaṇa,
Gaṇeśa atau Gaṇapati belum mampu mengalahkan musuhnya raksasa
Nilarudraka, sebelum salah satu taringnya patah.
Upacāra ini merupakan sebagai wujud bhakti seorang tua (ibu-bapa)
kepada leluhurnya yang telah menjelma sebagai anaknya, untuk
ditumbuh-kembangkan keperibadiannya, diharapkan menjadi putra yang
suputra sesuai dengan kitab Nitiśāstra
Adapun tujuan dari upacāra Mapandes dapat dirujuk pada sebuah lontar
bernama Puja Kalapati yang mengandung makna penyucian seorang anak saat
akil balig menuju ke alam dewasa, sehingga dapat memahami hakekat
penjelmaannya sebagai manusia. Berdasarkan keterangan dalam lontar
Pujakalapati dan juga Ātmaprasangsa, maka upacāra Mapandes mengandung
tujuan, sebagai berikut:
- Melenyapkan kotoran dan cemar pada diri pribadi seorang anak yang menuju tingkat kedewasaan. Kotoran dan cemar tersebut berupa sifat negatif yang digambarkan sebagai sifat Bhūta, Kāla, Pisaca, Raksasa dan Sadripu yang mempengarhui pribadi manusia, di samping secara biologis telah terjadi perubahan karena berfungsi hormon pendorong lebido seksualitas.
- Dengan kesucian diri, seseorang dapat lebih mendekatkan dirinya dengan Tuhan Yang Maha Esa, para dewata dan leluhur. Singkatnya seseorang akan dapat meningkatkan Śraddhā dan Bhakti kepada-Nya.
- Menghindarkan diri dari kepapaan, berupa hukuman neraka dikemudian hari bila mampu meningkatkan kesucian pribadi.
- Merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa) yang telah mendapat kesempatan dan kepercayaan untuk menumbuh-kembangkan kepribadian seorang anak. Kewajiban ini merupakan Yajña dalam pengertian yang luas (termasuk menanamkan pendidikan budhi pekerti, menanamkan nilai-nilai moralitas dan agama) sehingga seseorang anak benar-benar menjadi seorang putra yang suputra.
Kini timbul pertanyaan, kapankah saat yang tepat untuk melaksanakan
upacāra Mapandes? Bila kita memperhatikan berbagai sumber yang tertulis
di dalam lontar, seperti lonatr Dharma Kahuripan dan lain-lain,
sebenarnya upacāra ini dilakukan saat mulai pubertasnya seorang anak,
dan bagi seorang gadis, saat setelah pertama kali mengalami menstruasi.
Upacāra ini dapat digabungkan dengan Rajasewala atau Rajasingha bagi
seorang gadis atau seorang perjaka.
Dalam kenyataan di kalangan umat Hindu, upacāra Mapandes ini
dilakukan bersamaan atau dirangkai dengan upacāra Piṭṛa Yajna terutama
Mamukur atau dirangkai sebelum upacāra Pawiwahan (perkawinan), dilakukan
secara masal bergabung dengan keluarga besar untuk mempererat tali
persaudaraan dan kekeluargaan.
Bagi seseorang yang belum sempat mengikuti upacāra Mapandes, dan maut
telah menjemput, berbagai tanggapan muncul, yakni apakah perlu upacāra
bagi seseorang yang telah meninggal. Terhadap keadaan ini, Parisada
Hindu Dharma Indonesia Pusat, melalui keputusan Seminar Kesatuan Tafsir
terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu memberikan jalan ke luar, sebagai
berikut:
- Mapandes adalah upacāra Manusa Yajña (Śarīra Saṁsakara) yang patut dilaksanakan pada saat seseorang masih hidup (sangat baik ketika remaja, belum berumah tangga). Mapandes bagi orang yang telah meninggal sesungguhnya tidak perlu dilakukan.
- Bila orang tua yang bersangkutan merasa masih punya hutang berupa kewajiban, dapat menempuhnya dengan upacāra simbolis, dengan kikir (panggur) dari bunga teratai, dilengkapi dengan andel-andel serta padi, seakan-akan yang bersangutan bermimpi diupacārakan Mapandes.
- Dengan demikian orang tua terbebas dari hutang kewajiban kepada anaknya, sehingga roh anaknya diharapkan dapat bersatu dengan roh leluhur yang telah disucikan.
- Magumi Padangan. Upacāra ini disebut juga Masakapan Kapawon dan dilaksanakan di dapur, mengandung makna bahwa tugas pertama seseorang yang sudah dewasa dan siap berumah tangga adalah mengurus masalah dapur (logistik). Seseorang diminta bertanggung jawab untuk kelangsungan hidup keluarga di kemudian hari, melalui permohonan waranugraha dari Sang Hyang Agni (Brahma) yang disimboliskan bersthana di dapur.
- Ngekeb. Upacāra ini dilakukan di meten atau di gedong, mengandung makna pelaksanaan Brata, yakni janji untuk mengendalikan diri dari berbagai dorongan dan godaan nafsu, terutama dorongan negatif yang disimboliskan dengan Sadripu, yakni enam musuh pada diri pribadi manusia berupa loba, emosi, nafsu seks dan sebagainya.
- Mabhyakāla. Upacāra ini dilakukan di halaman rumah, di depan meten atau gedong, mengandung makna membersihkan diri pribadi dari unsur-unsur Bhūtakāla, yakni sifat jahat yang muncul dari dalam maupun karena pengaruh dari luar (lingkungan pergaulan). Upacāra ini juga disebut Mabhyakawon yang artinya melenyap kotoran batin dan di India disebut Prayascitta, menyucikan diri pribadi.
- Persaksian dan persembahyangan ke Pamarajan. Upacāra ini mengandung makna untuk:
b) Menyembah ibu-bapa, sebagai perwujudan dan kelanjutan tradisi Veda, seorang anak wajib bersujud kepada orang tuanya, karena orang tua juga merupakan perwujudan dewata (matri devobhava, pitridevobhava), juga sebagai wujud bhakti kepada Sang Hyang Uma dan Śiva, sebagai ibu-bapa yang tertinggi dan yang sejati.
c) Ngayab Caru Ayam Putih, simbolis sifat keraksasaan dinetralkan dan berkembangnya sifat-sifat kedewataan.
d) Memohon Tirtha, sebagai simbolis memohon kesejahtraan, kabahagiaan dan keabadiaan.
e) Ngrajah gigi, menulis gigi dengan aksara suci simbolis sesungguhnya Hyang Widhilah yang membimbing kehidupan ini melalui ajaran suci yang diturunkan-Nya, sehingga prilaku umat manusia menjadi suci, lahir dan batin.
f) Pemahatan taring, simbolis Sang Hyang Widhi Śiva) yang telah menganugrahkan kelancaran upacāra ini seperti simbolik Sang Hyang Śiva memotong taring putra-Nya, yakni Bhatāra Kāla.
- Upacāra di tempat (bale) Mapandes. Setelah selesai upacāra di pamarajan, maka remaja yang mengikuti upacāra Mapandes kembali ke gedong untuk selanjutnya menuju tempat upacāra Mapandes dilaksanakan, adapun rangkaian dan makna upacāra yang dikandung adalah sebagai berikut:
b) Menyembah Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, agar senantiasa dimbimbing ke jalan yang benar, sekaligus memohon benih yang terkandung dalam diri masing-masing (sukla-svanita), jangan sampai ternoda hingga kehidupan berumah tangga melalui perkawinan di kemudian hari.
c) Memohon Tirtha kepada Bhatāra Smāra dan Bhatārì Ratih, sebagai simbol telah mendapat restu dan perkenan-Nya.
d) Ngayab Banten Pangawak Bale Gading, untuk memohon kekuatan lahir dan batin, karena masa pubertas penuh dengan tantantangan hidup termasuk dorongan nafsu yang jahat.
e) Mepandes, yakni dilaksanakannya upacāra panggur oleh sangging, guna menyucikan diri pribadi dari gangguan Sadripu.
f) Menginjak banten paningkeb, mengandung makna selesainya upacāra Mapendes, dengan Sadripu dan Catur Sanak telah memperoleh penyucian.
- Menikmati Sirih-lekesan, simbolis kehidupan baru telah dimulai dengan bermacam kenikmatan hidup dan tantangan, dan Sang Hyang Śiva beserta Pañca Dewata senantiasa akan melindunginya.
- Kembali ke tempat Ngekeb, mengandung makna kembali melakukan tapa brata, menyucian diri, lahir dan batin.
- Mejaya-jaya, yakni mengikuti upacāra yang dipimpin oleh Pandita (Sulinggih) berupa pemercikkan Tìrtha, yang mengandung makna yang bersangkutan telah dan senantiasa akan memperoleh kemenangan dalam menghadapi godaan dan dorongan untuk berbuat jahat.
- Mapinton. Upacāra ini mengandung makna mempermaklumkan kehadapan Sang Hyang Widhi, para dewata dan leluhur, bahwa yang bersangkutan telah melaksanakan upacāra Mapandes dan senantiasa memohon bimbingan dan perlindungan-Nya.
TANGGUNG JAWAB ORANG TUA DAN KELUARGA
Upacāra Mapandes adalah merupakan kewajiban orang tua (ibu-bapa)
untuk menyelenggarakannya, dan bila kita kaji secara seksama, seorang
anak sesungguhnya adalah pula leluhur kita yang menjelma untuk
meningkatkan kualitas kehidupannya (lahir dan batin) yang pada akhirnya
dapat mengantarkannya guna mewujudkan Jagadhita (kesejahtraan dan
kebahagian hidup di dunia ini) dan Mokṣa (bersatunya Ātman dengan
Paramātman).
Dalam melakukan Yajña ini, landasan yang paling mendasar bagi Sang
Yajamana (yang melaksanakan atau yang memiliki upacāra itu), Sang
Amancagra (tukang bebanten dan sangging), dan Sang Pandita (yang
memimpin dan menyelesaikan upacāra) adalah ketulusan hati. Ketulusan ini
patut pula diikuti oleh para Athiti tamu undangan) guna Yajña tersebut
berhasil Śiddhakarya.
Untuk mengembangkan ketulusan hati, utamanya Sang Yajamana bersama
keluarga hendaknya dapat melakukan berbagai Brata, seperti Upavaśa
(mengendalikan diri untuk tidak menikmati makanan) pada saat puncak
upacāra berlangsung, dan senantiasa memusatkan pikiran kehadapan Sang
Hyang Widhi, para dewata dan leluhur untuk keberhasilan dari Yajña yang
diselenggarakan.PENUTUP
Demikianlah tulisan singkat ini kami sampaikan dalam rangka
mewujudkan partisipasi kami, semoga Yajña yang sangat mulia ini mencapai
Śiddhaning Don, Śiddhakarya sebagai yang kita harapkan.
Oleh : I Wayan Sudarma, S.Ag, M.Si (Shri danu Dharma P).