Om Swastyastu,
BABAD LELUHUR MAHA
GOTRA TIRTA HARUM
Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing Dhang Hyang Subali,
Dhang Hyang Jaya Rembat dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah
merupakan tokoh sejarah yang menjadi leluhur prati sentana Maha Gotra Tirta
Harum.
Dhang
Hyang Subali dan Dhang Hyang Jaya Rembat dalam khasanah sejarah Bali adalah
merupakan manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan yang menjabat sebagai Adipati
di Bali yang diberikan otoritas memerintah Bali oleh Raja Majapahit Sri Natha
Hayam Wuruk, sedangkan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah seorang
tokoh penting dalam strata birokrasi pemerintahan di Majapahit dikenal dengan sebutan Sapto Prabhu. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dikenal dalam
khasanah sejarah dalam periode imperium Kerajaan Majapahit menduduki tahta
kerajaan di Kedatuan Wengker, Daha dan Keling.
Dhang
Hyang Subali berdasarkan sejarah tradisi lisan di Bali dan beberapa babad serta
pariagem adalah orang tua dari Ni Dewi Njung Asti, sedangkan Dhang Hyang Jaya
Rembat menjadi ayah angkat dari Sang Angga Tirta dan Paduka Parameswara Sri
Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta yang kelahirannya
dikaitkan dengan Pura Tirta Harum.
Mengikuti
genealogi atau hubungan kekerabatan dari ketiga tokoh sejarah yang melegenda di
Bali itu maka diketahui bahwa Dhang Hyang Subali adalah kakek dari Sang Angga
Tirta, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi orang tua angkat dari Sang Angga
Tirta setelah diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai dharma putra dan Paduka
Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta.
Fakta
sejarah yang terungkap kemudian setelah
diadakannya penelitian atas prasasti Tamblingan menurut efigraf I Gusti Made
Suwarbhawa dari Balai Arkeologi Denpasar diketahui bahwa prasasti yang
dikeluarkan oleh Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa antara lain :
prasasti Her Abang II, prasasti Tamblingan, prasasti gobleg, prasasti Pura
Batur C. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa didalam naskah Pararaton
dikenal bernama Bhre Wengker wafat pada tahun saka gagana rupa anahut wulan
1310 saka atau 1388 Masehi, juga dikenal dengan nama Raden Kudamerta, ia juga
dikenal dengan sebutan Bhre Parameswara, bergelar Paduka Bhatara Matahun Shri
Bhatara Wijaya Rajasa nama wikrama
Tungga Dewa, Bhatara Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana.
Menurut
hasil kajian dari Balai Arkeologi Denpasar itu yang mengungkapkan bahwa Paduka
Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana itu analog dan cocok dengan
sebutan atau paraban yang disuratkan pada babad Purana Batur yang secara
tekstual menyebutkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu
Bhuwana dan berputra Sang Angga Tirta.
Dengan
demikian mitos yang dituangkan dalam babad Purana Batur yang bersifat kultus
dewaraja adalah nama lain daripada Shri Wijaya Rajasa yang tersurat dibeberapa
prasasti yang dikeluarkan oleh beliau seperti prasasti Tamblingan, prasasti
Tulukbiu dan prasasti lainnya.
Hasil
inventarisasi nama-nama yang merujuk pada figur sejarah Shri Wijaya Rajasa
antara lain : Raden Kudamerta , Bhre Wengker, Bhre Parameswara, Paduka Bhatara
Matahun,
Shri Bhatara Wijaya Rajasa, nama Wikrama Tungga Dewa, Paduka Shri Maharaja Raja
Parameswara Shri Wijaya Sakala Prajanandakarana, Dalem Keling, Bhatara Guru,
Bhatara Shri Parameswara Sang Mokta ring Wisnubhuwana.
Candi
Wisnubhuwana berlokasi di Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur menurut para
arkeolog diketahui disebut sebagai Candi Wisnu Bhuwana setelah ditemukannya
prasasti Biluluk bertarih 1391 Masehi.
Berangkat dari realitas sejarah sedemikian,
maka ketiga tokoh legendaries sejarah itu adalah menjadi leluhur Maha Gotra
Tirta Harum. Jika Dang Hyang Subali dan Dang Hyang Jaya Rembat dating ke Bali
pada tahun 1350 Masehi, bersama-sama dengan Sri Kresna Kepakisan dan dikukuhkan
sebagai manggala Bhagawanta Dalem Samprangan, maka Paduka Parameswara Sri
Wijaya Rajasa justru dating ke Bali pada tahun 1380 Masehi. Dalam Purana Batur
disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebagai “
nabe “ dari Dalem Ketut Ngelusir ".
Kemelut
dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja
Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa
seorang anggota Pahoem Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto
Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan
menata pemerintahan di daerah taklukan Bali.
Kalau
dicermati tugas pokok Bhatara Sapto Prabhu yang dikenal dalam naskah
Negarakertagama dengan sebutan Pahoem Narendra adalah : mengurus soal keuangan
raja, menetapkan dan mempertimbangkan pergantian mahkota dan urusan
kebijaksanaan kerajaan. Merujuk dari tugas pokok yang tertuang dalam Pahoem
Narendra itu memberi petunjuk kepada kita bahwa kedatangan Paduka Parameswara
Shri Wijaya Rajasa ke Bali adalah tugas penting yang bersifat strategis. Jadi
pada hakekatnya kehadiran dan kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa
ke Bali bukan semata-mata bertugas sebagai Dhang Guru Nabe dari Dalem Ketut
Ngelusir tetapi bagaimana menata pemerintahan di daerah ini dan melaksanakan
pergantian mahkota karena adanya krisis kepemimpinan di Bali.
Dalam
Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara
Guru sebagai “ nabe “ Dalem Ketut Ngelusir. Tapi interpretasi dari berbagai
babad dan prasasti terungkap bahwa kehadiran Paduka Parameswara Shri Wijaya
Rajasa yang pasraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli adalah untuk
menata pemerintahan di Bali dan untuk mengembalikan kredibilitas Kerajaan
Majapahit di daerah Bali.
Dengan
asumsi demikian maka kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa seperti
yang tersurat dalam 2 prasasti masing-masing Prasasti Her Abang II berangka tahun
1384 Masehi dan Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi itu adalah
orang kuat dan sangat berperan penting yang diutus Raja Majapahit untuk
melaksanakan pergantian mahkota Bali.
Gelar
abhiseka yang tersurat dalam prasasti Her Abang II dan Prasasti Tamblingan III
berupa lempengan tembaga saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biyu Kintamani yakni
manuskrip kuna menyebut gelar : Paduka
Sri Maharaja Raja Parameswara Sri Sakala Raja Nanda Karana.
Gelar
abhiseka ini member petunjuk pada sejarahwan bahwa gelar dan abhiseka seperti
yang termuat dalam dua prasasti penting itu adalah merupakan gelar tertinggi
yang dimiliki raja yang berkuasa. Pemakaian gelar tesebut tidaklah sembarangan,
hanya figure atau individu dengan kekuasaan tertinggi dan menentukan yang
berhak menyandangnya.
Dalam
kronik-kronik Dynasti Ming disebutkan bahwa sejak tahun 1377 Masehi terdapat
dua penguasa Jawa yang mengirimkan duta dan hadiah ke Kaesar Cina. Raja Kedaton
Barat disebut sebagai Wu-Lao Po Yuan, Raja Kedaton Barat tersebut adalah ejaan
Bahasa Cina dari Bhre Prabhu atau penguasa tertinggi kerajaan. Identifikasinya
jelas pada Raja Hayam Wuruk yang masih bertahta di Majapahit. Sedangkan yang
bertahta di Kedaton Timur adalah disebut sebagai Wu-Yuan-Lao Wang Chieh. Raja
Kedaton Timur tersebut adalah Bhre Wengker. Fakta sejarah ini memberi petunjuk
bahwa Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja besar di Kedaton Timur
meliputi Kerajaan Daha, Wengker, dan Keling. Berdasarkan data ikonografis yang
ditemukan di lapangan maka daerah kekuasaan raja di Kedaton Timur secara
geografis membentang di dua kabupaten di Jawa Timur masing-masing di Kabupaten
Kediri dan Kabupaten Madiun saat ini.
Menurut
naskah Pararation Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa nama kecilnya dikenal
bernama Raden Kuda Amerta.
Beliau
adalah paman dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Di Kedatuan Majapahit beliau
mempersunting putri dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yakni bernama
Raja Dewi Maharajasa atau dalam khasanah sejarah dikenal dengan nama Dyah Wiyah
Sri Raja Dewi yang diangkat sebagai Bhre Daha. Ikatan perkawinan ini menjadikan
Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa memerintahkan kerajaan bersama-sama
dengan permaisurinya. Dari hasil perkawinannya itu punya satu satunya putri
tunggal bernama Paduka Sori. Dari realitas sejarah yang ditelusuri maka kita
mengetahui bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Jawa hanya mempunyai
seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsure
wanita atau wadon.
Menurut
Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa di
Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh
Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum.
Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medrue putra lanang I Gede Putu, cahi putu manipuan cahi
turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum.
Di
lokasi pancoran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas
Harum, ini telah berdiri pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura
bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan, yang berhubungan dengan
kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti. Mitos yang
tertuang dalam Purana Batur tentang sosok dan figur Bhatara Wisnu Bhuwana itu
secara historis dapat dicermati dengan interpretasi yang benar dan utuh bahwa
predikat dan sebutan yang tertuang dalam Purana Batur itu tiada lain adalah
Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa. Dengan konklusi itu semua maka secara
historis di Bali Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa mempersunting Ni Dewi
Njung Asti dengan abhiseka Sri Aji Ayu Murub Rikanang Wilwatikta secara
genealogis atau hubungan kekerabatan dari hasil perkawinannya berputra putri masing-masing putri bernama Dewa Ayu Mas Magelung, putri kedua bernama Dewa
Ayu Mas Gegelang, putri ketiga bernama Dewa Ayu Mas Murub dan putra terakhir
bernama Sang Angga Tirtha.
Dalam
versi lain lontar Pura Dalem Siladri menyuratkan bahwa putra bungsu dari
perkawinan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dengan Ni Dewi Njung Asti oleh
Dang Hyang Subali dianugrahi gelar I Dewa Gede Angga Tirta dan setelah dewasa
diberi gelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.
Secara
logika maka sangat wajar seorang kakek yakni Dang Hyang Subali berkenan member
nama cucunya. Mencermati apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu
maka secara historis tidak terbantah bahwa Ni Dewi Njung Asti adalah benar
putri dari Dang Hyang Subali yang dikenal sebagai manggala dan bhagawanta Dalem
Samprangan. Dang Hyang Subali berstana di Tohlangkir membangun tempat beryoga
di Pura Bukit Batur berlokasi 150 meter di sebelah timur Pura Tirta Harum dan
disekitar pasraman tersebut diberi nama Brasika.
Apa
yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu cocock dan analog dengan
sejarah lisan atau forklore yang secara tradisisonal turun temurun menceritakan
bahwa Ni Deewi Njung Asti adalah putrid dari Dang Hyang Subali. Interpretasi
yang mengaitkan Ni Dewi Njung Asti secara etimologis identik dengan Dewi Danu
dan Bhatara Wisnu Bhuwana diidentikan dengan dewa penguasa air di darat adalah
asumsi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip historiografi
yang reflektif dan lojik. Bhatara Wisnu Bhuwana yang tersurat dalam Babad
Purana Batur secara tersirat adalah berarti raja atau penguasa pelindung
rakyat. Cara pandang rakawi yang menyuratkan dalam Babad Purana Batur yang
berbau kultus dewa-raja sedemikian adalah wajar pada jamannya. Tetapi secara
kritis peneliti sejarawan harus mampu memberi interpretasi yang benar terhadap
apa yang tersurat dan apa yang tersirat.
Perspektif
baru penulisan sejarah membutuhkan metodologi sejarah yang komprehensif dan
pendekatan yang multidimensional untuk ditemukannya fakta sejarah yang obyektif
dan terukur validitasnya, hendaknya menggunakan metode analisis sejarah yang
dikenal dalam terminology ilmiah disebut metode pendekatan struktural, agar
dapat diketahui oleh sejarawan sttruktur kemasyarakatan, struktur birokrasi,
struktur perwilayahan dalam bingkai waktu, peristiwa dan pelaku sejarah secara
lojik dan kritis, sehingga para peneliti dan penulis sejarah tidak terperangkap
pada anakronisme penafsiran yang salah kaprah.
Putra
bungsu yang bernama Sang Angga Tirtha inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura
Tirta Harum yang dikenal dalam khasanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di
Bali. Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra
satu-satunya dari Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa menurunkan “ warih “ keturunan yang menjadi raja-raja
di Kerajaan Tamanbali, Nyalian dan Bangli.
Dari
sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari
segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga
Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau gari keibuan
mengali darah biru catur pandita atau kebrahmanaan. Dengan mengikuti realitas
sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal
Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah figure kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah
Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa
adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti
sebagai wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putrid
dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang
berdarah biru keturunan catur pandita di Bali.
Dari
sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri
Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha
Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang deberikan oleh para
peneliti sejarah bagi sosok atau figure sejarah yang berhasil mengembangkan dan
membentuk kewangsaan atau klen tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu
tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah.
Menurut
antropolog Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus dijelaskan bahwa wangsa atau klen di
Bali terbentuk pada kelompok keluarga patrilinial yang memiliki pemujaan
leluhur atau nenek moyang menurut garis laki-laki. Jadi mereka yang tunggal kawitan. Kelompok keluarga
patrilinial ini dalam format kecil di Bali disebut soroh dalam ssatu komonitas
dadia, tapi nantinya setelah dalam kurun waktu tertentu karena kehendak jalannya
sejarah maka soroh ini berkembang menjadi wangssa atau gotra. Hubungan
kekerabatan yang merunut pada garis patrilinial di Bali sangat penting.
Wamsakarta dalam sejarah nantinya menjadi simbul pemersatu dan penghubung
jaringan kekerabatan yang semakin meluas dan melebar melampaui batas-batas
territorial.
Prinsip
patrilinial dimaksudkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, dank arena itu
mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat di mana semua kaum
kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua
kaum kerabat ibunya di luar batas kekerabatan itu.
Dinobatkan
Raja Bali Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati wakil Kerajaan Majapahit di Bali
dalam rentang waktu yang lama ternyata telah membentuk wangsa tersendiri dalam
system pelapisan masyarakat Bali. Lima belas orang Arya, beberapa orang
Kesatrya, tiga orang Wesia, ratusan prajurit dank aula Jawa yang ikut dalam
ekspedisi militer Gajah Mada itu dan kemudian menetap untuk menyertai Sang
Adipati memerintah di Bali juga telah membentuk wangsanya sendiri-sendiri.
Dalam rentang waktu yang panjang secara historis sosiologis terbentuk dan
terbangun trah atau wangsa-wangsa seperti Wang Bang Kresna Kepakisan, Arya
Tegeh Kori, Arya Pinatih, dan tidak terkecuali juga terbentuk dan terbangunnya
klen atau trah Maha Gotra Tirta Harum.
Kondisi
sosiokultural dalam masyarakat Bali pada gilirannya nanti menumbulkan adanya
dualisme dalam pelapisan masyarakat Bali Hindu atau Bali Jawa yang dikenal
dengan sebutan Wong Majapahit dan Wong Bali Mula atau Wong Baali Aga. Dengan
kata lain masyarakat Bali terbagi menjadi dua golongan yaitu Hindu Bali yang
merujuk kepada orang Majapahit Jawa dan keturunannya, dan Bali Mula atau Bali
Aga yang merujuk kepada orang Bali Asli yang dikalahkan oleh Kerajaan
Majapahit. Secara hirarki masyarakat Bali yang merunut garis lurus hubungan
kekerabatan atau genealogi sedemikian ternyata sampai kini sangat dominan
mewarnai strata kekerabatan dan sosiokultural di Bali.
Paduka
Bhatara Parameswara Sri Wijaya Rajasa dari realitas sejarah yang berhasil
ditelusuri adalah wamsakarta bagi semua keturunanya dari garis patrilinial di
Bali yang merujuk pada kelompok keluarga yang tunggal kawitan dan terbukti
secara historis menurunkan warih yang menjadi raja-raja di KerajaanTamanbali,
Nyalian dan Bangli selama kurun waktu lebih dari lima abad yakni sejak madeg
ratunya Sang Garbajata hasil perkawinan Sang Angga Tirta dengan Ni Luh Ayu
Sadri dan menjadi Raja Tamanbali sejak tahun 1524 Masehi. Diangkatnya Sang
Garbajata sebagai Manca dengan kedudukan di Tamanbali nantinya bergelar
abhiseka I Dewa Tamanbali sebagai Raja Kerajaan Tamanbali pertama.
Episode
sejarah dengan diangkatnya Sang Garbajata sebagai Raja di Kerajaan Tamanbali
pada tahun 1524 Masehi adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting
dalam khasanah sejarah Bali, sebab dengan menjadi rajanya keturunan trah atau
klen Maha Gotra Tirta Harum dalam rentang waktu yang cukup lama dalam
perjalanan sejarah maka nantinya keturunannya menyebar dan meluas melampaui batas-batas
teritorial dan bermukim di seluruh persada Bali.
Dengan
ditemukannya wamsakarta nantinya dapat digunakan sebagai instrument untuk
memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sejarah terbentuknya system
pelapisan sosial suatu masyarakat serta perubahannya. Komponen-komponen yang
membentuk dan mengisi system itu tersusun berdasarkan asas keturunan yang
kemudian disebut wangsa atau gotra.
Dari
penelitian arkeolog Dr. Agus Munandar terungkap pakta sejarah bahwa pengaruh
Majapahit di Bali dimulai sejak masa ketika Bali bernaung dibawah panji-panji
kebesaran Wilwatikta di pertengahan abad ke-14. Bersamaan itu pula system
pemerintahan di Bali disesuaikan penataannya
atas petunjuk pejabat Majapahit. Pejabat Majapahit itu tiada lain adalah
Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa selama lebih dari 9 tahun bermukim dan
berkiprah di Bali setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit maka beliau
bertugas mengawasi pemerintahan di Bali. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa
memberi petunjuk dan pembelajaran bagi Dalem Ketut Semara Kepakisan yang
umurnya masih relative muda untuk melaksanakan tata pemerintahan yang benar.
Masuknya kekusaan raja-raja Majapahit di Bali membawa pengaruh dan dampak yang
mendalam pada penduduk dan masyarakat Bali.
Fakta
sejarah yang terungkap kemudian betapa diakuinya peranan tokoh Shri Wijaya
Rajasa terungkap secara tekstual penghargaan dari Dalem Sri Semara Kepakisan
pada periode masa akhir Majapahit setelah Shri Wijaya Rajasa tiada lagi dengan
kata-kata sebagai berikut : “ Setelah tiba di pusat kota ( Wilwatikta ) baginda
Dhalem Shri Semara Kepakisan termenung sedih melihat kota sepi dan sunyi, hal
ini membuat kekecewaan dihati baginda, teringat dengan cinta kasih Maharaja
Shri Hayam Wuruk dan Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa.
Pada
bagian lain dari buku Sejarah Keluhuran Dhalem Suhunantara diungkapkan secara
tertulis bahwa ada 3 ( tiga ) raja pada waktu paruman-agung di Wilwatikta
memiliki tempat istimewa singghasana yaitu Maharaja Majapahit Shri Rajasa
Negara yang disebut juga BRA Wijaya Pamungkas, Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa
dan Raja Bali Shri Semara Kepakisan .
Lebih
jelas lagi betapa peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa ketika mangkat hari Anggara
Kasih bulan Jiesta tahun saka 1310 atau 1388 Masehi maka titah dari sang raja
Shri Nata Hayam Wuruk ketika itu yang dibacakan oleh putrinya bernama Dyah
Kusuma Wardhani sebagai berikut : pertama Sang Prabhu menyampaikan duka
mendalam disertai doa puja mantra semoga beliau bersatu dengan atma Hyang Widhi
di alam kelanggengan. Kedua Sang Prabhu juga berkenan memberikan penghargaan
tertinggi kepada beliau yang telah tiada sebagai salah satu pahlawan atau
pengabdiannya terhadap Majapahit.Ketiga menyerahkan keputusan pemilihan tempat
selayaknya atas abu jenasah yang akan diprabhukan dan dicandikan nanti kepada
musyawarah keluarga istana.
Abu
jenasah Sang Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa akhirnya atas usul dan
saran dari seluruh kerabat keluarga besar istana ditetapkan disimpan di Candi
Wisnu Bhuwana desa Manyar Gresik.
Pemberdayaan
rakayat dan masyarakat lewat kegiatan alih teknologi pertanian, penataan system
pemerintahan kerajaan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk arahan
Dhang Guru Nabe sebagai pejabat tinggi Majapahit yang diberikan otoritas dan
mission untuk menertibkan dan mengamankan daerah taklukan Bali. Mencermati
kiprah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa lebih dari 9 tahun di Bali maka
dapat diambil kesimpulan bahwa figure sejarah Paduka Parameswara Sri Wijaya
Rajasa dapat disebut sebagai tokoh Cultural-Hero pembaharu system sosio
cultural masyarakat pada jamannya di Bali sejajar dengan peranan dan kiprah Rsi
Markandya, Mpu Kuturan dan Dhang Hyang Nirartha di Bali. Sebagai pahlawan
budaya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dalam kiprahnya di Bali diketahui
merintis budaya pemberdayaan masyarakat mulai dari penataan system
pemerintahan, system kemasyarakatan dan merubah serta menata sosiokultural
masyarakat yang diadopsi dari system sosiokultural yang dianut di Kerajaan
Majapahit.
Ketiga
figure sejarah di Bali itu masing-masing Dhang Hyang Subali berpesraman di
Tohlangkir, Dhang Hyang Jaya Rembat berpesraman di Sila Parwata dan Paduka
Parameswara Sri Wijaya Rajasa berpesraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten
Bangli sehingga di Bali beliau lebih dikenal dengan sebutan Dalem Keling.
Sang
Angga Tirta sebagai cikal bakal leluhur Maha Gotra Tirta Harum di Bali
diketahui beristtri Ni Luh Ayu Sadri. Dari perkawinannya yang adhi luhung lahir
putra-putra bernama Sang Anom, Sang Telabah, Sang Rurung dan Sang Anjingan.
Sang
Anom dalam blantika sejarah dikenal dengan sebutan Sang Garbhajata oleh Dalem
Waturenggong diangkat sebagai Manca di
Tamanbali dan bergelar I Dewa Tamanbali.
Tonggak sejarah dinobatkannya Sang Garbhajata sebagai raja Tamanbali itu merupakan moment historis yang sangat penting sebagai babak baru lahirnya Kerajaan Tamanbali dalam blantika sejarah Bali yang jarang dituangkan secara tekstual baik oleh para rakawi yang menulis babad maupun penulis pamancangah.
Tonggak sejarah dinobatkannya Sang Garbhajata sebagai raja Tamanbali itu merupakan moment historis yang sangat penting sebagai babak baru lahirnya Kerajaan Tamanbali dalam blantika sejarah Bali yang jarang dituangkan secara tekstual baik oleh para rakawi yang menulis babad maupun penulis pamancangah.
Di
jaman dahulu sebutan atau predikat “ sang “ dipakai sebagai identitas diri,
tetapi karena telah beralih jabatan dan fungsi sebagai raja, maka predikat itu
berangsur-angsur ditinggalkan. Akan tetapi mereka-mereka yang dikenal sebagai
keturunan dari Sang Telabah, Sang Rurung, dan Sang Anjingan menurut tradisi
lisan atau sejarah lisan tetap memakai predikat “ presanghyang “. Jejak sejarah
yang gelap tentang keturunan atau leluhur soroh sang itu yang diketahui sampai
saat ini ada yang menyebut diri sebagai soroh Sang Kengetan, Sang Kelingan,
Sang Kembengan, Sang Bentuyung, Sang Keliki, Sang Bukit dan Sang Kaler.
Mereka yang dikenal dengan sebutan soroh sang ini secara historis juga adalah tercatat dalam realita sejarah tentu menjadi satu leluhur dalam keluarga besar Maha Gotra Tirta Harum.
Mereka yang dikenal dengan sebutan soroh sang ini secara historis juga adalah tercatat dalam realita sejarah tentu menjadi satu leluhur dalam keluarga besar Maha Gotra Tirta Harum.
Ref :
Masa Akhir Majapahit Oleh Dr. Hasan
Djafar
Menuju Puncak Kemegahan Majapahit Oleh
Prof. Dr. SLamet Mulyono
Sejarah Maha Gotra Tirta Haruh Tim Penulis : I Dewa Gede Oka, dkk
Sejarah Maha Gotra Tirta Haruh Tim Penulis : I Dewa Gede Oka, dkk
Prasasti ring Tambahan Kelod, Sejarah
Maha Gotra Tirta Harum : I Dewa Made Raka
http://www.dalemsilaadri.com/menelusuri-kawitan-maha-gotra-tirta-harum
http://diarthanida.net/sejarah-mahagotra-tirtha-harum/
https://www.ancestry.com/connect/profile/
https://www.ancestry.com/family-tree/tree/151969206/family
http://www.dalemsilaadri.com/menelusuri-kawitan-maha-gotra-tirta-harum
http://diarthanida.net/sejarah-mahagotra-tirtha-harum/
https://www.ancestry.com/connect/profile/
https://www.ancestry.com/family-tree/tree/151969206/family
“ Om Santih, Santih, Santih, Om”.
Dumogi Rahayu