DEWA GEDE RAMAYADI

Menu
  • Home
  • SEJARAH
    • MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SILSILAH
  • SEMETON MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SEMETON SATRIA TAMANBALI BANGLI NYALIAN
    • SEMETON SATRIA TAMAN BALI
    • SEMETON TITIANG SATRIA TAMAN BALI RING TAMBAHAN
      • SILSILAH TAMBAHAN
  • TUNTUNAN AGAMA HINDU
    • Doa - Doa Hindu
      • Doa - Doa Hindu
      • Kidung - Kidung
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Upacara Sudhhi Wadani
    • Rahina Saraswati
    • Rahina Pagerwesi
    • Rahina Galungan - Kuningan
    • Rahina Tumpek Landep
    • Banten Pejati
    • Kidung - Kidung
    • Rentetan Hari Raya GALUNGAN DAN KUNINGAN
  • BOOKS
    • Analisis Kebijakan Publik
      • Analisa Kebijakan Publik
      • Dewa Gede Ramayadi
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Analisa Kebijakan Organisasi
    • Analisa Kebijakan Publik
    • Analisa Kebijakan Pariwisata
  • BUDAYA
    • BUDAYA BALI
    • BUDAYA INDONESIA
    • BUDAYA MANCANEGARA
  • BABAD TIRTA HARUM
  • PAKET TOUR OBJEK WISATA BALI
    • PAKET TOUR KELUARGA
    • Obyek Wisata Bali
    • PAKET TOUR 3H2M
    • TOUR BALI
    • BALI
    • LIBURAN DI BALI
    • BALI
    • CHANNEL YOUTUBE
    • HOTEL

Wednesday, February 8, 2012

BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM

February 08, 2012 4 comments

Om Swastyastu,

BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM

Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing Dhang Hyang Subali, Dhang Hyang Jaya Rembat dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah merupakan tokoh sejarah yang menjadi leluhur prati sentana Maha Gotra Tirta Harum.
Dhang Hyang Subali dan Dhang Hyang Jaya Rembat dalam khasanah sejarah Bali adalah merupakan manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan yang menjabat sebagai Adipati di Bali yang diberikan otoritas memerintah Bali oleh Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk, sedangkan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah seorang tokoh penting dalam strata birokrasi pemerintahan di Majapahit dikenal dengan sebutan Sapto Prabhu. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dikenal dalam khasanah sejarah dalam periode imperium Kerajaan Majapahit menduduki tahta kerajaan di Kedatuan Wengker, Daha dan Keling.
Dhang Hyang Subali berdasarkan sejarah tradisi lisan di Bali dan beberapa babad serta pariagem adalah orang tua dari Ni Dewi Njung Asti, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi ayah angkat dari Sang Angga Tirta dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta yang kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum.
Mengikuti genealogi atau hubungan kekerabatan dari ketiga tokoh sejarah yang melegenda di Bali itu maka diketahui bahwa Dhang Hyang Subali adalah kakek dari Sang Angga Tirta, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi orang tua angkat dari Sang Angga Tirta setelah diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai dharma putra dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta.
Fakta sejarah yang terungkap  kemudian setelah diadakannya penelitian atas prasasti Tamblingan menurut efigraf I Gusti Made Suwarbhawa dari Balai Arkeologi Denpasar diketahui bahwa prasasti yang dikeluarkan oleh Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa antara lain : prasasti Her Abang II, prasasti Tamblingan, prasasti gobleg, prasasti Pura Batur C. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa didalam naskah Pararaton dikenal bernama Bhre Wengker wafat pada tahun saka gagana rupa anahut wulan 1310 saka atau 1388 Masehi, juga dikenal dengan nama Raden Kudamerta, ia juga dikenal dengan sebutan Bhre Parameswara, bergelar Paduka Bhatara Matahun Shri Bhatara Wijaya Rajasa  nama wikrama Tungga Dewa, Bhatara Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana.
Menurut hasil kajian dari Balai Arkeologi Denpasar itu yang mengungkapkan bahwa Paduka Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana itu analog dan cocok dengan sebutan atau paraban yang disuratkan pada babad Purana Batur yang secara tekstual menyebutkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu Bhuwana dan berputra Sang Angga Tirta.
Dengan demikian mitos yang dituangkan dalam babad Purana Batur yang bersifat kultus dewaraja adalah nama lain daripada Shri Wijaya Rajasa yang tersurat dibeberapa prasasti yang dikeluarkan oleh beliau seperti prasasti Tamblingan, prasasti Tulukbiu dan prasasti lainnya.
Hasil inventarisasi nama-nama yang merujuk pada figur sejarah Shri Wijaya Rajasa antara lain : Raden Kudamerta , Bhre Wengker, Bhre Parameswara, Paduka Bhatara Matahun, Shri Bhatara Wijaya Rajasa, nama Wikrama Tungga Dewa, Paduka Shri Maharaja Raja Parameswara Shri Wijaya Sakala Prajanandakarana, Dalem Keling, Bhatara Guru, Bhatara Shri Parameswara Sang Mokta ring Wisnubhuwana.
Candi Wisnubhuwana berlokasi di Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur menurut para arkeolog diketahui disebut sebagai Candi Wisnu Bhuwana setelah ditemukannya prasasti Biluluk bertarih 1391 Masehi.
 Berangkat dari realitas sejarah sedemikian, maka ketiga tokoh legendaries sejarah itu adalah menjadi leluhur Maha Gotra Tirta Harum. Jika Dang Hyang Subali dan Dang Hyang Jaya Rembat dating ke Bali pada tahun 1350 Masehi, bersama-sama dengan Sri Kresna Kepakisan dan dikukuhkan sebagai manggala Bhagawanta Dalem Samprangan, maka Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa justru dating ke Bali pada tahun 1380 Masehi. Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebagai “ nabe “ dari Dalem Ketut Ngelusir ".
Kemelut dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa seorang anggota Pahoem Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan menata pemerintahan di daerah taklukan Bali.
Kalau dicermati tugas pokok Bhatara Sapto Prabhu yang dikenal dalam naskah Negarakertagama dengan sebutan Pahoem Narendra adalah : mengurus soal keuangan raja, menetapkan dan mempertimbangkan pergantian mahkota dan urusan kebijaksanaan kerajaan. Merujuk dari tugas pokok yang tertuang dalam Pahoem Narendra itu memberi petunjuk kepada kita bahwa kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali adalah tugas penting yang bersifat strategis. Jadi pada hakekatnya kehadiran dan kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali bukan semata-mata bertugas sebagai Dhang Guru Nabe dari Dalem Ketut Ngelusir tetapi bagaimana menata pemerintahan di daerah ini dan melaksanakan pergantian mahkota karena adanya krisis kepemimpinan di Bali.
Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebagai “ nabe “ Dalem Ketut Ngelusir. Tapi interpretasi dari berbagai babad dan prasasti terungkap bahwa kehadiran Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang pasraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli adalah untuk menata pemerintahan di Bali dan untuk mengembalikan kredibilitas Kerajaan Majapahit di daerah Bali.
Dengan asumsi demikian maka kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa seperti yang tersurat dalam 2 prasasti masing-masing Prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi dan Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi itu adalah orang kuat dan sangat berperan penting yang diutus Raja Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota Bali.
Gelar abhiseka yang tersurat dalam prasasti Her Abang II dan Prasasti Tamblingan III berupa lempengan tembaga saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biyu Kintamani yakni manuskrip kuna menyebut gelar : Paduka Sri Maharaja Raja Parameswara Sri Sakala Raja Nanda Karana.
Gelar abhiseka ini member petunjuk pada sejarahwan bahwa gelar dan abhiseka seperti yang termuat dalam dua prasasti penting itu adalah merupakan gelar tertinggi yang dimiliki raja yang berkuasa. Pemakaian gelar tesebut tidaklah sembarangan, hanya figure atau individu dengan kekuasaan tertinggi dan menentukan yang berhak menyandangnya.
Dalam kronik-kronik Dynasti Ming disebutkan bahwa sejak tahun 1377 Masehi terdapat dua penguasa Jawa yang mengirimkan duta dan hadiah ke Kaesar Cina. Raja Kedaton Barat disebut sebagai Wu-Lao Po Yuan, Raja Kedaton Barat tersebut adalah ejaan Bahasa Cina dari Bhre Prabhu atau penguasa tertinggi kerajaan. Identifikasinya jelas pada Raja Hayam Wuruk yang masih bertahta di Majapahit. Sedangkan yang bertahta di Kedaton Timur adalah disebut sebagai Wu-Yuan-Lao Wang Chieh. Raja Kedaton Timur tersebut adalah Bhre Wengker. Fakta sejarah ini memberi petunjuk bahwa Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja besar di Kedaton Timur meliputi Kerajaan Daha, Wengker, dan Keling. Berdasarkan data ikonografis yang ditemukan di lapangan maka daerah kekuasaan raja di Kedaton Timur secara geografis membentang di dua kabupaten di Jawa Timur masing-masing di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Madiun saat ini.
Menurut naskah Pararation Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa nama kecilnya dikenal bernama Raden Kuda Amerta.
Beliau adalah paman dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Di Kedatuan Majapahit beliau mempersunting putri dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yakni bernama Raja Dewi Maharajasa atau dalam khasanah sejarah dikenal dengan nama Dyah Wiyah Sri Raja Dewi yang diangkat sebagai Bhre Daha. Ikatan perkawinan ini menjadikan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa memerintahkan kerajaan bersama-sama dengan permaisurinya. Dari hasil perkawinannya itu punya satu satunya putri tunggal bernama Paduka Sori. Dari realitas sejarah yang ditelusuri maka kita mengetahui bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Jawa hanya mempunyai seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsure wanita atau wadon.
Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum. Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medrue putra lanang I Gede Putu, cahi putu manipuan cahi turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum.
Di lokasi pancoran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas Harum, ini telah berdiri pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan, yang berhubungan dengan kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti. Mitos yang tertuang dalam Purana Batur tentang sosok dan figur Bhatara Wisnu Bhuwana itu secara historis dapat dicermati dengan interpretasi yang benar dan utuh bahwa predikat dan sebutan yang tertuang dalam Purana Batur itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa. Dengan konklusi itu semua maka secara historis di Bali Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa mempersunting Ni Dewi Njung Asti dengan abhiseka Sri Aji Ayu Murub Rikanang Wilwatikta secara genealogis atau hubungan kekerabatan dari hasil perkawinannya berputra putri masing-masing putri bernama Dewa Ayu Mas Magelung, putri kedua bernama Dewa Ayu Mas Gegelang, putri ketiga bernama Dewa Ayu Mas Murub dan putra terakhir bernama Sang Angga Tirtha.
Dalam versi lain lontar Pura Dalem Siladri menyuratkan bahwa putra bungsu dari perkawinan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dengan Ni Dewi Njung Asti oleh Dang Hyang Subali dianugrahi gelar I Dewa Gede Angga Tirta dan setelah dewasa diberi gelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.
Secara logika maka sangat wajar seorang kakek yakni Dang Hyang Subali berkenan member nama cucunya. Mencermati apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu maka secara historis tidak terbantah bahwa Ni Dewi Njung Asti adalah benar putri dari Dang Hyang Subali yang dikenal sebagai manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan. Dang Hyang Subali berstana di Tohlangkir membangun tempat beryoga di Pura Bukit Batur berlokasi 150 meter di sebelah timur Pura Tirta Harum dan disekitar pasraman tersebut diberi nama Brasika.
Apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu cocock dan analog dengan sejarah lisan atau forklore yang secara tradisisonal turun temurun menceritakan bahwa Ni Deewi Njung Asti adalah putrid dari Dang Hyang Subali. Interpretasi yang mengaitkan Ni Dewi Njung Asti secara etimologis identik dengan Dewi Danu dan Bhatara Wisnu Bhuwana diidentikan dengan dewa penguasa air di darat adalah asumsi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip historiografi yang reflektif dan lojik. Bhatara Wisnu Bhuwana yang tersurat dalam Babad Purana Batur secara tersirat adalah berarti raja atau penguasa pelindung rakyat. Cara pandang rakawi yang menyuratkan dalam Babad Purana Batur yang berbau kultus dewa-raja sedemikian adalah wajar pada jamannya. Tetapi secara kritis peneliti sejarawan harus mampu memberi interpretasi yang benar terhadap apa yang tersurat dan apa yang tersirat.
Perspektif baru penulisan sejarah membutuhkan metodologi sejarah yang komprehensif dan pendekatan yang multidimensional untuk ditemukannya fakta sejarah yang obyektif dan terukur validitasnya, hendaknya menggunakan metode analisis sejarah yang dikenal dalam terminology ilmiah disebut metode pendekatan struktural, agar dapat diketahui oleh sejarawan sttruktur kemasyarakatan, struktur birokrasi, struktur perwilayahan dalam bingkai waktu, peristiwa dan pelaku sejarah secara lojik dan kritis, sehingga para peneliti dan penulis sejarah tidak terperangkap pada anakronisme penafsiran yang salah kaprah.
Putra bungsu yang bernama Sang Angga Tirtha inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum yang dikenal dalam khasanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra satu-satunya dari Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa menurunkan “ warih “ keturunan yang menjadi raja-raja di Kerajaan Tamanbali, Nyalian dan Bangli.  
Dari sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau gari keibuan mengali darah biru catur pandita atau kebrahmanaan. Dengan mengikuti realitas sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah figure kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti sebagai wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putrid dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang berdarah biru keturunan catur pandita di Bali.
Dari sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang deberikan oleh para peneliti sejarah bagi sosok atau figure sejarah yang berhasil mengembangkan dan membentuk kewangsaan atau klen tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah.
Menurut antropolog Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus dijelaskan bahwa wangsa atau klen di Bali terbentuk pada kelompok keluarga patrilinial yang memiliki pemujaan leluhur atau nenek moyang menurut garis laki-laki. Jadi mereka yang tunggal kawitan. Kelompok keluarga patrilinial ini dalam format kecil di Bali disebut soroh dalam ssatu komonitas dadia, tapi nantinya setelah dalam kurun waktu tertentu karena kehendak jalannya sejarah maka soroh ini berkembang menjadi wangssa atau gotra. Hubungan kekerabatan yang merunut pada garis patrilinial di Bali sangat penting. Wamsakarta dalam sejarah nantinya menjadi simbul pemersatu dan penghubung jaringan kekerabatan yang semakin meluas dan melebar melampaui batas-batas territorial.
Prinsip patrilinial dimaksudkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat di mana semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya di luar batas kekerabatan itu.
Dinobatkan Raja Bali Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati wakil Kerajaan Majapahit di Bali dalam rentang waktu yang lama ternyata telah membentuk wangsa tersendiri dalam system pelapisan masyarakat Bali. Lima belas orang Arya, beberapa orang Kesatrya, tiga orang Wesia, ratusan prajurit dank aula Jawa yang ikut dalam ekspedisi militer Gajah Mada itu dan kemudian menetap untuk menyertai Sang Adipati memerintah di Bali juga telah membentuk wangsanya sendiri-sendiri. Dalam rentang waktu yang panjang secara historis sosiologis terbentuk dan terbangun trah atau wangsa-wangsa seperti Wang Bang Kresna Kepakisan, Arya Tegeh Kori, Arya Pinatih, dan tidak terkecuali juga terbentuk dan terbangunnya klen atau trah Maha Gotra Tirta Harum.
Kondisi sosiokultural dalam masyarakat Bali pada gilirannya nanti menumbulkan adanya dualisme dalam pelapisan masyarakat Bali Hindu atau Bali Jawa yang dikenal dengan sebutan Wong Majapahit dan Wong Bali Mula atau Wong Baali Aga. Dengan kata lain masyarakat Bali terbagi menjadi dua golongan yaitu Hindu Bali yang merujuk kepada orang Majapahit Jawa dan keturunannya, dan Bali Mula atau Bali Aga yang merujuk kepada orang Bali Asli yang dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Secara hirarki masyarakat Bali yang merunut garis lurus hubungan kekerabatan atau genealogi sedemikian ternyata sampai kini sangat dominan mewarnai strata kekerabatan dan sosiokultural di Bali.
Paduka Bhatara Parameswara Sri Wijaya Rajasa dari realitas sejarah yang berhasil ditelusuri adalah wamsakarta bagi semua keturunanya dari garis patrilinial di Bali yang merujuk pada kelompok keluarga yang tunggal kawitan dan terbukti secara historis menurunkan warih yang menjadi raja-raja di KerajaanTamanbali, Nyalian dan Bangli selama kurun waktu lebih dari lima abad yakni sejak madeg ratunya Sang Garbajata hasil perkawinan Sang Angga Tirta dengan Ni Luh Ayu Sadri dan menjadi Raja Tamanbali sejak tahun 1524 Masehi. Diangkatnya Sang Garbajata sebagai Manca dengan kedudukan di Tamanbali nantinya bergelar abhiseka I Dewa Tamanbali sebagai Raja Kerajaan Tamanbali pertama.
Episode sejarah dengan diangkatnya Sang Garbajata sebagai Raja di Kerajaan Tamanbali pada tahun 1524 Masehi adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam khasanah sejarah Bali, sebab dengan menjadi rajanya keturunan trah atau klen Maha Gotra Tirta Harum dalam rentang waktu yang cukup lama dalam perjalanan sejarah maka nantinya keturunannya menyebar dan meluas melampaui batas-batas teritorial dan bermukim di seluruh persada Bali.
Dengan ditemukannya wamsakarta nantinya dapat digunakan sebagai instrument untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sejarah terbentuknya system pelapisan sosial suatu masyarakat serta perubahannya. Komponen-komponen yang membentuk dan mengisi system itu tersusun berdasarkan asas keturunan yang kemudian disebut wangsa atau gotra.
Dari penelitian arkeolog Dr. Agus Munandar terungkap pakta sejarah bahwa pengaruh Majapahit di Bali dimulai sejak masa ketika Bali bernaung dibawah panji-panji kebesaran Wilwatikta di pertengahan abad ke-14. Bersamaan itu pula system pemerintahan di Bali disesuaikan penataannya  atas petunjuk pejabat Majapahit. Pejabat Majapahit itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa selama lebih dari 9 tahun bermukim dan berkiprah di Bali setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit maka beliau bertugas mengawasi pemerintahan di Bali. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa memberi petunjuk dan pembelajaran bagi Dalem Ketut Semara Kepakisan yang umurnya masih relative muda untuk melaksanakan tata pemerintahan yang benar. Masuknya kekusaan raja-raja Majapahit di Bali membawa pengaruh dan dampak yang mendalam pada penduduk dan masyarakat Bali.
Fakta sejarah yang terungkap kemudian betapa diakuinya peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa terungkap secara tekstual penghargaan dari Dalem Sri Semara Kepakisan pada periode masa akhir Majapahit setelah Shri Wijaya Rajasa tiada lagi dengan kata-kata sebagai berikut : “ Setelah tiba di pusat kota ( Wilwatikta ) baginda Dhalem Shri Semara Kepakisan termenung sedih melihat kota sepi dan sunyi, hal ini membuat kekecewaan dihati baginda, teringat dengan cinta kasih Maharaja Shri Hayam Wuruk dan Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa.
Pada bagian lain dari buku Sejarah Keluhuran Dhalem Suhunantara diungkapkan secara tertulis bahwa ada 3 ( tiga ) raja pada waktu paruman-agung di Wilwatikta memiliki tempat istimewa singghasana yaitu Maharaja Majapahit Shri Rajasa Negara yang disebut juga BRA Wijaya Pamungkas, Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa dan Raja Bali Shri Semara Kepakisan .
Lebih jelas lagi betapa peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa ketika mangkat hari Anggara Kasih bulan Jiesta tahun saka 1310 atau 1388 Masehi maka titah dari sang raja Shri Nata Hayam Wuruk ketika itu yang dibacakan oleh putrinya bernama Dyah Kusuma Wardhani sebagai berikut : pertama Sang Prabhu menyampaikan duka mendalam disertai doa puja mantra semoga beliau bersatu dengan atma Hyang Widhi di alam kelanggengan. Kedua Sang Prabhu juga berkenan memberikan penghargaan tertinggi kepada beliau yang telah tiada sebagai salah satu pahlawan atau pengabdiannya terhadap Majapahit.Ketiga menyerahkan keputusan pemilihan tempat selayaknya atas abu jenasah yang akan diprabhukan dan dicandikan nanti kepada musyawarah keluarga istana.
Abu jenasah Sang Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa akhirnya atas usul dan saran dari seluruh kerabat keluarga besar istana ditetapkan disimpan di Candi Wisnu Bhuwana desa Manyar Gresik.
Pemberdayaan rakayat dan masyarakat lewat kegiatan alih teknologi pertanian, penataan system pemerintahan kerajaan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk arahan Dhang Guru Nabe sebagai pejabat tinggi Majapahit yang diberikan otoritas dan mission untuk menertibkan dan mengamankan daerah taklukan Bali. Mencermati kiprah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa lebih dari 9 tahun di Bali maka dapat diambil kesimpulan bahwa figure sejarah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dapat disebut sebagai tokoh Cultural-Hero pembaharu system sosio cultural masyarakat pada jamannya di Bali sejajar dengan peranan dan kiprah Rsi Markandya, Mpu Kuturan dan Dhang Hyang Nirartha di Bali. Sebagai pahlawan budaya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dalam kiprahnya di Bali diketahui merintis budaya pemberdayaan masyarakat mulai dari penataan system pemerintahan, system kemasyarakatan dan merubah serta menata sosiokultural masyarakat yang diadopsi dari system sosiokultural yang dianut di Kerajaan Majapahit.
Ketiga figure sejarah di Bali itu masing-masing Dhang Hyang Subali berpesraman di Tohlangkir, Dhang Hyang Jaya Rembat berpesraman di Sila Parwata dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa berpesraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli sehingga di Bali beliau lebih dikenal dengan sebutan Dalem Keling.
Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal leluhur Maha Gotra Tirta Harum di Bali diketahui beristtri Ni Luh Ayu Sadri. Dari perkawinannya yang adhi luhung lahir putra-putra bernama Sang Anom, Sang Telabah, Sang Rurung dan Sang Anjingan.
Sang Anom dalam blantika sejarah dikenal dengan sebutan Sang Garbhajata oleh Dalem Waturenggong diangkat sebagai Manca  di Tamanbali dan bergelar I Dewa Tamanbali.
Tonggak sejarah dinobatkannya Sang Garbhajata sebagai raja Tamanbali itu merupakan moment historis yang sangat penting sebagai babak baru lahirnya Kerajaan Tamanbali dalam blantika sejarah Bali yang jarang dituangkan secara tekstual baik oleh para rakawi yang menulis babad maupun penulis pamancangah.
Di jaman dahulu sebutan atau predikat “ sang “ dipakai sebagai identitas diri, tetapi karena telah beralih jabatan dan fungsi sebagai raja, maka predikat itu berangsur-angsur ditinggalkan. Akan tetapi mereka-mereka yang dikenal sebagai keturunan dari Sang Telabah, Sang Rurung, dan Sang Anjingan menurut tradisi lisan atau sejarah lisan tetap memakai predikat “ presanghyang “. Jejak sejarah yang gelap tentang keturunan atau leluhur soroh sang itu yang diketahui sampai saat ini ada yang menyebut diri sebagai soroh Sang Kengetan, Sang Kelingan, Sang Kembengan, Sang Bentuyung, Sang Keliki, Sang Bukit dan Sang Kaler.
Mereka yang dikenal dengan sebutan soroh sang ini secara historis juga adalah tercatat dalam realita sejarah tentu menjadi satu leluhur dalam keluarga besar Maha Gotra Tirta Harum.













Ref :

        Masa Akhir Majapahit Oleh Dr. Hasan Djafar

        Menuju Puncak Kemegahan Majapahit Oleh Prof. Dr. SLamet Mulyono
        Sejarah Maha Gotra Tirta Haruh Tim Penulis : I Dewa Gede Oka, dkk

        Prasasti ring Tambahan Kelod, Sejarah Maha Gotra Tirta  Harum  : I Dewa Made Raka
        http://www.dalemsilaadri.com/menelusuri-kawitan-maha-gotra-tirta-harum
        http://diarthanida.net/sejarah-mahagotra-tirtha-harum/    
        https://www.ancestry.com/connect/profile/
        https://www.ancestry.com/family-tree/tree/151969206/family
 


“ Om Santih, Santih, Santih, Om”. 
   Dumogi Rahayu
Read More

Tuesday, February 7, 2012

MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN

February 07, 2012 No comments

Oleh : I Wayan Sudarma,(Shri Danu Dharma P.)
"Om Swastyastu,
 
Setiap menjelang hari Raya Galungan, pastilah kita sering menerima dan mengirim-membuat ucapan selamat baik secara langsung maupun melalui media, seperti surat kabar, majalah, TV, SMS, dsb. Jika dibaca dan dihayati ucapan itu begitu Indah dan melankolis. Tapi yang ada sesungguhnya kita lebih banyak membohongi diri sendiri, karena apa yang kita ucapkan dan kita buat kita belum bisa melakukannya atau belum dapat meraihnya, yaitu jadi Pemenang atas Dharma Jati Diri melawan Adharma yang ada dalam diri ini juga.
Kata Galungan berasal dari bahasa Jawa Kuno yang berarti; menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan Dungulan dalam Bahasa Bali Kuno. Hari Raya Galungan sudah dirayakan terlebih dahulu di tanah Jawa, ini sesuai dengan lontar berbahasa Jawa Kuno yaitu : Kidung Panji Amalat Rasmi. Di Bali Hari Raya Galungan untuk pertama kali dilaksanakan pada Hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi ini sesuai dengan lontar “Purana Bali Dwipa”

Makna Filossofis Galungan
Galungan adalah suatu upacara sakral yang memberikan kekuatan spritual agar mampu membedakan mana dorongan hidup yang berasal dari Adharma dan mana dari Budhi Atma yaitu : Suara Kebenaran (Dharma) dalam diri manusia. Disamping itu juga berarti kemampuan untuk membedakan kecendrungan keraksasaan (asura sampad) dan kecendrungan kedewaan (dewa sampad) karena hidup yang berbahagia atau ananda adalah hidup yang memiliki kemampuan untuk menguasai kecenderungan keraksasaan. Dalam lontar Sunarigama dijelaskan rincian upacara Hari Raya Galungan sebagai berikut: “Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacuan pikiran” Jadi inti Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapatkan pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalam diri. Sedangkan segala kekacuan pikiran (byaparaning idep) adalah wujud Adharma. Kesimpulan dari lontar Sunarigama; bahwa Galungan adalah kemenangan Dharma melawan Adharma.
Namun kemudian muncul pertanyaan untuk kita semua; setelah sekian lama umat Hindu merayakan Galungan setiap enam bulan sekali, Apakah umat Hindu sudah menang? kemenangan seperti apa?, mengapa ada gejala moralitas semakin menurun, seolah-olah Adharmalah yang menjadi pemenang !?. Jika direnungkan berarti selama ini mungkin kita telah melakukan kekeliruan interpretasi terhadap hari Raya Galungan, sehingga pesan terdalam yang menjadi ROH dari Galungan hilang tak berbekas, karena kita baru besar pada ritual atau berupacara saja, tetapi belum bisa memaknainya sebagai media untuk merubah diri dari Avidya menuju Vidya agar menjadi Vijnanam untuk mencapai Anandam
Pesan Rohani Galungan.

“Perangilah musuh dalam dirimu, hingga Engkau layak merayakan Galungan”

1). Sugihan Jawa atau Sugihan Jaba yaitu;
Sebuah kegiatan rohani dalam rangka menyucikan bhuana agung (makrocosmos) yang jatuh pada hari Kamis Wage Sungsang. Kata Sugihan berasal dari urat kata Sugi yang artinya membersihkan dan Jaba artinya luar, dalam lontar Sundarigama dijelaskan: bahwa Sugihan Jawa merupakan “Pasucian dewa kalinggania pamrastista bhatara kabeh” (pesucian dewa, karena itu hari penyucian semua bhatara). Pelaksanaan upacara ini dengan membersihkan alam lingkungan, baik pura, tempat tinggal, dan peralatan upacara di masing-masing tempat suci. Dan yang terpenting adalah membersihkan badan phisik dari debu kotoran dunia Maya, agar layak dihuni oleh Sang Jiwa Suci sebagai Brahma Pura.

2). Sugihan Bali
Bali dalam bahasa Sanskerta berarti kekuatan yang ada dalam diri. Jadi Sugihan Bali memiliki makna yaitu menyucikan diri sendiri sesuai dengan lontar sunarigama: “Kalinggania amrestista raga tawulan” (oleh karenanya menyucikan badan jasmani-rohani masing-masing /mikrocosmos) yaitu dengan memohon tirta pembersihan /penglukatan. Manusia tidak saja terdiri dari badan phisik tetapi juga badan rohani (Suksma Sarira dan Antahkarana Sarira). Persiapan phisik dan rohani adalah modal awal yang harus diperkuat sehingga sistem kekebalan tubuh ini menjadi maksimal untuk menghadapi musuh yang akan menggoda pertapaan kita.

3). Panyekeban – puasa I
Jatuh pada hari Minggu Pahing Dungulan.
Panyekeban artinya mengendalikan semua indrya dari pengaruh negatif, karena hari ini Sangkala Tiga Wisesa turun ke dunia untuk mengganggu dan menggoda kekokohan manusia dalam melaksanakan Hari Galungan. Dalam Lontar Sunarigama disebutkan: “Anyekung Jnana” artinya mendiamkan pikiran agar tidak dimasuki oleh Bhuta Galungan dan juga disebutkan “Nirmalakena” (orang yang pikirannya yang selalu suci) tidak akan dimasuki oleh Bhuta Galungan. Melihat pesan Panyekeban ini mewajibkan umat Hindu untuk mulai melaksanakan Brata atau Upavasa sehingga pemenuhan akan kebutuhan semua Indriya tidak jatuh kedalam kubangan dosa; pikirkan yang baik dan benar, berbicara kebenaran, berprilaku bijak dan bajik, mendengar kebenaran, menikmati makanan yang sattvika, dan yang lain, agar tetap memiliki kekuatan untuk menghalau godaan Sang Mara. Jadi tidak hanya nyekeb pisang atau tape untuk banten.

4). Penyajan – puasa II
Artinya hari ini umat mengadakan Tapa Samadhi dengan pemujaan kepada Ista Dewata. Penyajan dalam lontar Sunarigama disebutkan: “Pangastawaning Sang Ngamong Yoga Samadhi” upacara ini dilaksanakan pada hari Senin Pon Dungulan. Dengan Wiweka dan Winaya, manusia Hindu diajak untuk dapat memilah kemudian memilih yang mana benar dan salah, yang mana boleh dan tidak boleh, yang mana hak dan yang bukan hak.bukan semata-mata membuat kue untuk upacara.

5). Penampahan – puasa III
Berasal dari kata tampah atau sembelih artinya; bahwa pada hari ini manusia melakukan pertempuran melawan Adharma, atau hari untuk mengalahkan Bhuta Galungan dengan upacara pokok yaitu Mabyakala yaitu; membayar kepada Bhuta Kala. Makna sesungguhnya dari hari penampahan ini adalah memangkas dan mengeliminir sifat-sifat kebinatangan yang ada pada diri, bukan semata-mata membunuh hewan korban, karena musuh sebenarnya ada di dalam diri, bukan di luar termasuk sifat hewani tersebut. Ini sesuai dengan lontar Sunarigama yaitu ; “Pamyakala kala malaradan” artinya membayar hutang kepada ruang dan waktu. Bhuta = ruang , Kala = waktu , jadi Bhuta kala adalah ruang dan waktu, jadi harus diharmonisasi karena kita hidup diantara keduanya termasuk Atma hidup di antara ruang dan waktu jasmani yang diliputi oleh Bhuta. Inilah puncak dari Brata dan Upavasa umat Hindu, bertempur melawan semua bentuk Ahamkara – kegelapan yang bercokol dalam diri. Selama ini justru sebagain besar dari kita malah berpesta pora makan, lupa terhadap jati diri, menikmati makanan, mabuk. Sehingga bukan Nyomya Bhuta Kala- Nyupat Angga Sarira, malah kita akhirnya menjelma jadi Bhuta itu sendiri. Dengan demikian bagaimana mau jadi pemenang malah jadi pecundang.

6). Galungan – lebar puasa
Hari kemenangan dharma terhadap adharma setelah berhasil mengatasi semua godaan selama perjalan hidup ini, dan merupakan titik balik agar manusia senantiasa mengendalikan diri dan berkarma sesuai dengan dharma dalam rangka meningkatkan kualitas hidup dan dalam usaha mencapai anandam atau jagadhita dan moksa serta shanti dalam hidup sebagai mahluk yang berwiweka.

7). Manis Galungan
Setelah merayakan kemenangan , manusia merasakan nikmatnya (manisnya) kemenangan dengan mengunjungi sanak saudara dengan penuh keceriaan, berbagi suka cita, mengabarkan ajaran kebenaran betapa nikmatnya bisa meneguk kemenangan. Jadi hari ini umat Hindu wajib mewartakan-menyampaikan pesan dharma kepada semua manusia, inilah misi umat Hindu: Dharma Vada- menyampaikan ajaran kebenaran dengan Satyam Vada – mengatakan dengan kesungguhan daan kejujuran. “kabarkan kebenaran ini kepada mereka yang masih tersesat agar kembali ke ajaran Dharma, sampaikan kepada mereka wahai putra Utama”- janganlah malahan Engkau yang menjadi manusia tersesat dan kesasar dengan meninggalkan Dharma”!!

8). Pemaridan Guru
Jatuh pada hari Sabtu Pon Dungulan, maknyanya pada hari ini dilambangkan dewata kembali ke sorga dan meninggalkan anugrah berupa kadirgayusan yaitu; hidup sehat umur panjang dan hari ini umat menikmati waranugraha dari dewata.
Demikian makna Hari Raya Galungan sebagai hari pendakian spritual dalam mencapai kemenangan /wijaya dalam hidup ini ditinjau dari sudut pelaksanaan upacara dan filosofisnya.





Makna Filossofis Kuningan
Sepuluh hari setelah hari Galungan kita rayakan sebagai hari suci Kuningan, yang sesungguhnya adalah merupakan pengejawantahan ajaran kebenaran itu sendiri berupa pelaksanaan pelayanan yang didasari oleh perasaan cinta kasih, hal ini terlihat dari berbagai simbol upakara yang digunakan saat hari Kuningan diantaranya:

1). Tamiang (Tameng), setiap umat semestinya mampu memberikan perlindungan, akan rasa aman dan nyaman dari anacaman, gangguan baik sekala dan niskala.

2). Nasi Sulanggi (Su = baik, Langgi = panutan), umat Hindu harus dapat menjadi panutan baik bagi anak, istri, suami, keluarga, kerabat, bawahan. Intinya Ia harus menjadi suri tauladan kebenaran.

3). Nasi Tebog, mengisyaratkan kepada umat Hindu untuk bisa saling care (melindungi) dan share (berbagi), apalagi kepada mereka yang kesusahan dan sedang menderita (daridra deva bhava = kaum fakir miskin yang datang kepadamu adalah perwujudan Tuhan).

4). Endongan, dalam mengarungi hidup ini kita tidak bisa berdiri sendiri kita membutukan orang bahkan mahluk lain, karena setiap kehidupan memerankan fungsinya sesuai dengan Rta (hukum abadi semesta alam).

5). Kompek, setiap manusia pasti membutukan bekal ataupun biaya untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk itu kita diwajibkan untuk dapat juga memberikan bekal penghidupan baik berupa makanan, harta, pendidikan, dan sebagainya.

TAMIANG (Tameng),  bisa dibuat dari janur,  slepan (blarak, dalam bahasa Jawa),  daun Ron (enau), juga bisa dari daun lontar, dibuat berbentuk bulat, menyerupai matahari atau bulan.  Tamiang (Tameng) bermakna  sebagai pelindung, yang sering digunakan oleh para ksatria dalam mempertahankan diri dari serangn musuh. Matahari dan bulan  juga berfungsi sebagai pelindung agar semua mahluk hidup dapat hidup.  Dalam ranah sekala kita sebagai  umat semestinya mampu memberikan perlindungan, akan rasa aman dan nyaman dari ancaman, gangguan baik sekala dan niskala, baik untuk diri sendiri, keluarga, dan juga masyarakat.

SULANGGI atau NASI SULANGGI, upakara nasi lengkap dengan lauk-pauknya, yang ditempatkan pada wadah khusus bernama Sulanggi, dibuat menyerupai bunga yang mulai mekar, atau seperti tamas kecil. Secara Etimologi kata Sulanggi terdiri dari suku kata  Su = baik, Langgi = panutan, umat Hindu harus dapat menjadi panutan baik bagi anak, istri, suami, keluarga, kerabat, bawahan. Intinya Ia harus menjadi suri tauladan  dalam penegakan panji-panji kebenaran.

TEBOG atau NASI TEBOG, juga merupakan persembahan nasi lengkap dengan lauk-pauknya, yang dialasi dengan wadah yang dibuat menyerupai piring atau bunga yang sudah mekar. Kata Tebog (bahasa Jawa Kuno) artinya berbagi (sama rata), adil.  Mengisyaratkan kepada umat Hindu untuk bisa saling care (melindungi) dan share (berbagi), apalagi kepada mereka yang kesusahan dan sedang menderita (daridra deva bhava = kaum fakir miskin yang datang kepadamu adalah perwujudan Tuhan). Juga bermakna rasa keadilan sesuai dengan tugas dan fungsi kita baik sebagai individu, bagian dari sebuah keluarga, dan di tengah-tengah masyarakat.

ENDONGAN , adalah sebuah jejaitan dari janur, slepan (blarak), daun ron enau), dan juga daun lontar yang dibuat menjadi berbagai reringgitan kemudian disatukan.  Kata Endongan (bahasa Jawa Kuno) berarti:  bergandengan,  saling menuntun. Dalam mengarungi hidup ini kita tidak bisa berdiri sendiri kita membutukan orang bahkan mahluk lain, karena setiap kehidupan memerankan fungsinya sesuai dengan Rta (hukum abadi semesta alam).

KOMPEK, dibuat menyerupai Tas (betek) berisi tumpeng, buah, kue, dan lauk pauk.  Kompek bermakna bahwa  setiap manusia pasti membutukan bekal ataupun biaya untuk melangsungkan kehidupannya. Untuk itu kita diwajibkan untuk dapat juga memberikan bekal penghidupan baik berupa makanan, harta, pendidikan, dan sebagainya kepada anggota keluarga, dan juga masyarakat. Seperti halnya Hyang Widhi dan Leluhur yang telah memberikan kita sumber penghidupan sampai saat ini.

Demikian sekiranya kupasan filosofis Galungan dan Kuningan yang dapat diketengahkan, agar dapat menjadi bahan renungan kita dalam memperbaiki, menata hidup ini agar dapat meniti kehidupan yang jauh lebih bermartabat, bersaaja, dan akhirnya dapat berlabuh dilautan kedamaian.

“Jika seekor kupu-kupu saat mereka mencari madu pada sekelopak bunga saja dapat tidak membuat bunga itu berguguran, apalagi manusia yang dianugerahkan wiweka dan winaya tentunya tidak akan menyia-nyiakan kesempatan terlahir sebagai manusia dengan melanggar Dharmaning Kamanusan”. Avighnamastu.

“Jika kita mau jadi pemenang sejati? Mari jangan pura-pura menang dan seoalah-olah sudah melakukan pesan Galungan dengan taat.
“Kalau kita tidak mulai saat ini? Kapan lagi, apa menunggu kita menjadi tua, itu kalau kita sempat menjadi Tua, kalau tidak, sia-sialah hidup kita yang bagaikan kilatan petir”
“Sampaikanlah kebenaran dengan cara menyenangkan, tapi jangan menyenangi ketidakbenaran walau itu menyenangkan kita – Raih kemenangan bukan kepalsuan”

“Kepada umat Hindu dimanapun berada, Tiang haturkan Selamat Hari Suci Galungan & Kuningan, Semoga Cinta Kasih Melingkupi kita semua, sehingga bisa mewujudkan hidup yang Santih”

"Om Santih Santih Santih Om".

Read More
Newer Posts Older Posts Home

KSATRIA BRAHMANA WANGSA TREH TIRTA HARUM SATRIA TAMAN BALI "IDEWA TAMBAHAN" di TAMBAHAN KELOD

dewa gede ramayadi
View my complete profile

Recent Posts

Arsip Pencerahan Dumogi Mapikenoh

  • ►  1998 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  August (1)
  • ►  1999 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2000 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2002 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2011 (1)
    • ►  March (1)
  • ▼  2012 (6)
    • ▼  February (2)
      • MAKNA HARI RAYA GALUNGAN DAN KUNINGAN
      • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    • ►  May (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2014 (3)
    • ►  April (2)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  April (2)
    • ►  June (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2019 (4)
    • ►  January (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2020 (2)
    • ►  February (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2025 (1)
    • ►  April (1)

Popular Posts

  • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    Om Swastyastu, BABAD LELUHUR  MAHA GOTRA TIRTA HARUM Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing D...
  • LANDASAN DASAR, TATA CARA, PERSIAPAN, MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
    Om Swastyastu, Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah  merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan. salah s...
  • KIDUNG - KIDUNG
    KIDUNG DEWA YADNYA Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang Purwakaning angripta rumning wana ukir. Kahadang labuh. Ka...

Categories

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA
  • HARI RAYA SIWARATRI
  • LANDASAN DASAR
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
  • PANCA SRADHA
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI)
  • PERSIAPAN
  • SEJARAH AGAMA HINDU
  • TATA CARA

Report Abuse

Followers

Search This Blog

Link list 3

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA (1)
  • HARI RAYA SIWARATRI (1)
  • LANDASAN DASAR (1)
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU (1)
  • PANCA SRADHA (1)
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI) (1)
  • PERSIAPAN (1)
  • SEJARAH AGAMA HINDU (1)
  • TATA CARA (1)

Dumogi Rahayu Semeton Titiang Sareng Sami

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Copyright © DEWA GEDE RAMAYADI