Om Swastyastu,
Pendahuluan
Masyarakat Bali dalam kesehariannya meyakini bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh serta harus diupayakan untuk dijaga kesetimbangannya karena memegang peranan bagi tercapainya kehidupan yang baik, kebahagiaan dan kesehatan, yakni: mikrokosmos (bhuwana alit), makrokosmos (bhuwana agung) dan Tuhan.
Mengacu pada konsep tersebut, wilayah peruntukan selalu terletak di antara pura (sebagai hulu) dan setra (sebagai hilir). Masyarakat Bali juga telah membuat aturan yang jelas bagi wilayah peruntukan dan wilayah yang tidak boleh ditempati (sebagai misal untuk pura, wantilan dan pasar). Karenanya, wilayah peruntukan (desa) dapat diibaratkan sebagai gabungan dari beberapa organisme dimana setiap individu adalah tubuh, sedangkan setiap institusi adalah organ. Jantung dari sebuah desa tersebut terletak pada areal tengah, dimana merupakan pusat magis dari segala kegiatan. Berdasarkan pada konsep di atas, masyarakat Bali juga yakin bahwa jiwa seseorang dapat menjadi sakit dan mudah terserang penyakit, jika ketiga faktor di atas tidak berada dalam kondisi setimbang. Masyarakat Bali juga meyakini, bahwa baik faktor natural maupun supra natural (kesalahan dalam upacara, disalahkan oleh leluhur) dapat mengakibatkan kondisi sakit tersebut.
Komunitas tradisional di Bali selalu dikaitkan dengan hal - hal yang berbau magis, dan sebagai konsekuensinya maka pola pikir tradisional menjadi kurang begitu atraktif di jaman kini. Hal ini terjadi, karena sulitnya menjelaskan arti harfiah dari pola pikir tersebut. Maka, hal ini pulalah yang mengakibatkan semakin banyaknya interpretasi dalam upaya memahami arti dari pola pikir tradisional tersebut.
Propinsi Bali kini telah banyak mengalami perubahan, khususnya bila ditinjau dari segi kebudayaan, karakter dan kenyamanan hidup masyarakat. Propinsi Bali sebagai propinsi dengan budi daya yang tinggi memerlukan perhatian dan penataan yang sedemikian rupa karena telah terjadi keberagaman kultural dalam masyarakat yang heterogen. Perhatian dan penataan ini harus dijabarkan dalam konteks budaya yang multikultural dan majemuk, sehingga bisa membuat seluruh kota - kota di propinsi Bali lebih hidup, memiliki daya tarik visual (karena kekayaan seni dan budayanya), memiliki daya tarik sosial (karena toleransi masyarakatnya yang tinggi), sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pariwisata yang tengah mengalami kelesuan.
Propinsi Bali dalam perkembangannya dipenuhi oleh pendatang luar, baik yang menetap sebagai pemukim-pemukim liar sehingga menciptakan kesemrawutan dalam tata ruang dan mengakibatkan kumuhnya tatanan kota, maupun karena meningkatnya laju urbanisasi dan pariwisata yang berdampak pada tingginya kebutuhan dan pemakaian energi dan meningkatnya pencemaran yang terjadi.
Sebagai pusat pariwisata di Indonesia dan sebagai barometer pariwisata dunia, permasalahan yang dihadapi tentu saja sangat berbeda dengan propinsi lainnya yang ada di Indonesia, khususnya dalam menetapkan lahan dan tata ruang yang tepat serta upaya penanganan limbah dan pencemaran, sebagai hasil proses industri.
Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-filsafati, (2) empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan prinsip seperti berikut:
Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku pembangunan.
Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.
Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan, namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan lingkungan, belum optimal.
Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena bergesernya nilai - nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan, sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan pengembangan Bali secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan suatu local genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di Bali.
Tinjauan Budaya
Kebudayaan bukanlah merupakan suatu rangkaian kata yang sederhana yakni sebuah sistem yang mengorientasikan hubungan antara sesama manusia dan sekitarnya tetapi mengandung pula khasanah ideologi, yang sebagai akibatnya akan menimbulkan pertanyaan berupa: apa yang dicari serta untuk apa. Beberapa kajian tentang kebudayaan Bali telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar masih berkisar pada aspek antropologi serta kurang menyentuh sisi yang paling dasar yakni arsitektur tradisional Bali itu sendiri.
Meskipun arsitektur tradisional Bali memegang peranan yang sangat penting dalam komunitas dan budaya Bali (khususnya dalam tata ruang), masih sedikit yang berupaya untuk menggali potensinya lebih dalam.
Budaya tradisional di Bali memang tidak berubah secara dramatis. Pernyataan dari Bateson dan Mead serta Suryani dan Jensen dapat dipergunakan untuk mempelajari perubahan - perubahan dalam kebudayaan Bali. Meskipun Covarrubias dan Ramseyer berpendapat bahwa masyarakat Bali dapat berasimilasi dengan budaya baru serta menyatukannya dalam budaya tradisional (tanpa harus menghancurkan budaya tradisional itu sendiri), namun pergeseran budaya itu sendiri tetap terjadi, sehingga sedikit banyak telah mengubah tatanan yang ada.
Sejak dikembangkannya Bali menjadi daerah tujuan wisata dalam kurun dua dasa warsa belakangan ini, telah terjadi perkembangan yang sangat dinamis dalam hal kebudayaan, terlebih karena budaya yang dibawa oleh para pendatang telah ikut membentuk dan memberi warna dalam tata ruang di propinsi Bali.
Gubernur Bali saat itu, almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mengeluarkan edaran yang meminta para pejabat di Bali memakai arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah. Hal ini sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.
Beliau juga berinisiatif mengatur tata ruang dan ketinggian gedung (sempadan vertikal) hingga maksimal sampai 15 meter dari permukaan tanah. Para arsitek sejumlah hotel berbintang di Bali menjabarkan kebijaksanaan ini dengan jalan membangun gedung-gedung dan menata ruang sedemikian rupa sehingga mampu mencirikan pola arsitektur tradisional Bali yang sekaligus bisa memenuhi fungsi-fungsi perhotelan berstandar internasional.
Meskipun kini banyak gedung - gedung dibangun dengan memakai pola arsitektur Bali, bangunan tersebut tetap tidak sama dengan gedung - gedung pada pola arsitektur tradisional Bali maupun konsep Tri Hita Karana yang sebenarnya.
Hal ini terjadi karena tinggi gedung, orientasi dan jarak antar gedung pada pola arsitektur tradisional Bali yang sebenarnya sangat tergantung pada letak dan fungsinya masing - masing. Gedung - gedung bernuansa Bali tersebut juga tidak dapat disebut sebagai ukuran yang ringkas (compact) dari bangunan tradisional Bali yang sebenarnya, karena hampir serupa dengan bangunan modern biasa yang dikemas dalam ornamen - ornamen Bali. Karenanya, pemakaian arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah belumlah dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.
Tinjauan Terhadap Pola Pikir Tradisional
Dalam kehidupan sehari - hari, masyarakat Bali senantiasa percaya bahwa ada tiga faktor yang mesti dijaga kesetimbangannya, yakni mikrokosmos (pribadi masing - masing orang), makrokosmos (alam semesta) dan Hyang Widhi (Tuhan).
Konsep kesetimbangan hubungan di antara ketiga faktor ini disebut sebagai Tri Hita Karana. Mengacu pada konsep di atas, masyarakat Bali mengatur peruntukan suatu areal menjadi wilayah pawongan, palemahan dan parahyangan, berturut - turut untuk mikrokosmos, makrokosmos dan Hyang Widhi. Selain itu, wilayah dibagi pula berdasarkan pada arah hulu dan hilir. Wilayah hulu dinyatakan pada arah dimana matahari terbit atau dataran yang lebih tinggi berada (sebagai contoh bukit dan gunung). Sebaliknya, wilayah hilir diberikan pada arah dimana matahari terbenam atau pantai. Nordholt menyatakan bahwa fluida inilah yang diyakini bersirkulasi dari pegunungan yang suci menuju ke pantai, serta dari pantai akan kembali lagi ke gunung (sebagai angin dan hujan). Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kehidupan di Bali merupakan pergerakan yang konstan dan berkesinambungan antara hulu dan hilir.
Mengacu pada konsep Tri Hita Karana tersebut, desa - desa di Bali selalu menempatkan pura (tempat pemujaan) pada wilayah hulu, sedangkan tempat - tempat pembuangan diletakkan pada bagian hilir. Masyarakat Bali membuat perbedaan yang tegas antara wilayah pemukiman dan wilayah yang diperuntukkan bagi bangunan - bangunan umum, seperti halnya pura, wantilan dan pasar. Karenanya, sebuah desa merupakan satu kesatuan yang utuh dimana setiap individu adalah tubuh serta setiap institusi adalah organ tubuh itu sendiri. Prinsip orientasi bangunan terhadap arah hulu dan hilir inilah yang mengatur distribusi bangunan - banguan suci dan perumahan pada daerah tradisional.
Tinjauan Terhadap Permasalahan yang Berkembang Pembangunan fisik yang banyak kita jumpai saat ini adalah berupa sarana transportasi, gedung - gedung bertingkat (baik untuk perkantoran, hotel - hotel, apartemen dan pertokoan), perumahan, serta taman wisata. Semua ini dibangun baik dengan memanfaatkan lahan kosong, lahan produktif maupun lahan yang sebenarnya berpotensi sebagai daerah penyangga. Meskipun propinsi Bali telah sukses meraih penghargaan Adipura, namun kriteria untuk menjadikan seluruh kota sebagai daerah yang nyaman belum tercakup di dalamnya. Justru sebaliknya, temperatur rata - rata di beberapa kota semakin meningkat dalam satu dasa warsa ini. Pencemaran juga menjadi persoalan yang berpengaruh terhadap kenyamanan penghuni, sehingga harus menjadi parameter penting dalam penataan kota.
Konsep pembangunan di propinsi Bali memang sebaiknya ditinjau kembali. Pembangunan dan penataan kota nantinya dapat saja bersandar kepada nilai - nilai luhur tradisional yang telah teruji kebenarannya, namun sebelum melangkah lebih jauh perlu disadari bahwa arsitektur tradisional Bali selalu dikaitkan dengan aturan - aturan yang bersifat magis. Sebagai contoh, masyarakat umum selalu mengaitkan tempat - tempat suci dengan istilah - istilah sakral. Bagaimana masyarakat umum mendefinisikan serta menjabarkan istilah - istilah sakral tadi ditinjau dari konteks kekinian belum pernah dijabarkan dan diformulasikan. Belum ada yang mampu memberikan kajian mendalam ataupun menjabarkannya menjadi formula yang bisa diterima oleh seluruh komponen masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa arsitektur tradisional Bali -yang justru berperanan banyak dalam komunitas masyarakat Bali- menjadi kurang atraktif dalam pembangunan modern sekarang ini, terlebih dengan terbatasnya lahan yang ada sehingga menyulitkan pembangunan gedung dengan pola arsitektur tradisional Bali yang murni.
Bila pembangunan di propinsi Bali kembali didasarkan pada nilai - nilai luhur tradisional Bali, satu pertanyaan yang akan muncul adalah: apakah keunggulan dari pola arsitektur tradisional bila dikaitkan dalam jaman modern dengan permasalahan yang semakin kompleks, khususnya bila ditinjau dari segi sosial, budaya, ekonomi, keamanan serta kenyamanan? Pertanyaan selanjutnya adalah: dapatkah pola - pola tradisional tersebut dijadikan baku standar dan disosialisaikan, seperti halnya pada negara - negara maju yang senantiasa memiliki kodifikasi standar dalam pembangunannya?
Bila kedua pertanyaan di atas dapat diberikan alasan yang tepat, maka kodifikasi bangunan selain sebagai upaya untuk menstandarkan pola bangunan, pola pembangunan dan pengembangan, ia sekaligus juga akan melestarikan bangunan - bangunan tradisional Bali itu sendiri.
Agar mampu menjadi suatu standar dalam pembangunan yang berkelanjutan, maka :
1. Konsep Tri Hita Karana -sebagai konsep keseimbangan dalam budaya dan masyarakat Bali- mampu menjadi acuan pembinaan, peningkatan pembangunan yang berkualitas, serta menjadi standar dalam pengembangan dan pembangunan, sehingga selain mencirikan nuansa Bali yang berwawasan lingkungan juga dapat menjadi acuan dalam pembangunan di dunia internasional.
2. Konsep Tri Hita Karana, sebagai suatu local genius Bali, mampu menggabungkan beberapa macam ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan standar baku pembangunan dengan lebih mengedepankan konsep tradisional Bali, serta kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah - masalah yang ada maupun yang akan datang.
3. Konsep Tri Hita Karana mampu menjawab berbagai persoalan yang terbaru dan mampu mengantisipasi dampak teknologi dan perkembangan iptek terhadap budaya dan lingkungan.
Ada beberapa pemikiran yang melandasinya, yakni :
1. Sekalipun pembangunan dan pengembangan propinsi Bali lebih menitik beratkan pada nilai - nilai luhur tradisional, namun diupayakan agar tidak bersifat sektarian dan primordial, tetapi cenderung pada budaya multikultural dan pluralistik, hingga sanggup menampung budaya Bali yang terus menerus berproses dan berkembang.
2. Penataan kota - kota dan pola pembangunan dengan metoda yang sektarian cenderung akan menjadikan kota - kota dan pola pembangunan tersebut semuanya harus berdasar pada arsitektur Bali. Budaya multikultural dan pluralistik yang dimaksudkan adalah budaya dimana ada proses sinkretisme, inkulturasi serta asimilasi kultural dalam perkembangannya, sehingga akan dihasilkan budaya kekinian yang dapat diterima dan dirasakan oleh semua pihak, yang dapat terus mengantisipasi perkembangan itu sendiri.
3. Penataan dan pengembangan seluruh sub-sistem yang meliputi semua sarana dan prasarana untuk mendukung pemakaian konsep Tri Hita Karana secara professional, serta terus - menerus menggali dan melaksanakan penelitian tentang konsep tersebut secara optimal.
4. Kontribusi ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan konsep - konsep terbaru yang memiliki relevansi yang kuat demi terwujudnya upaya untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar pembangunan di Bali.
5. Pemberdayaan sumber daya yang ada secara efektif dan penerapan sistem perbaikan kualitas secara kontinyu di segala sektor dengan menggunakan langkah - langkah terprogram, untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan di Bali.
6. Upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penelitian dan pengembangan konsep Tri Hita Karana, sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat.
7. Memberikan informasi tentang orientasi pengembangan teknologi dan iptek di Bali dalam pembangunan jangka panjang, penelitian tentang pembangunan dan pengembangan Bali, baku mutu standar dalam upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman sosial, budaya dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengembangan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman informasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemakaian dan upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali.
"Om Santih Santih Santih Om".
Masyarakat Bali dalam kesehariannya meyakini bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh serta harus diupayakan untuk dijaga kesetimbangannya karena memegang peranan bagi tercapainya kehidupan yang baik, kebahagiaan dan kesehatan, yakni: mikrokosmos (bhuwana alit), makrokosmos (bhuwana agung) dan Tuhan.
Mengacu pada konsep tersebut, wilayah peruntukan selalu terletak di antara pura (sebagai hulu) dan setra (sebagai hilir). Masyarakat Bali juga telah membuat aturan yang jelas bagi wilayah peruntukan dan wilayah yang tidak boleh ditempati (sebagai misal untuk pura, wantilan dan pasar). Karenanya, wilayah peruntukan (desa) dapat diibaratkan sebagai gabungan dari beberapa organisme dimana setiap individu adalah tubuh, sedangkan setiap institusi adalah organ. Jantung dari sebuah desa tersebut terletak pada areal tengah, dimana merupakan pusat magis dari segala kegiatan. Berdasarkan pada konsep di atas, masyarakat Bali juga yakin bahwa jiwa seseorang dapat menjadi sakit dan mudah terserang penyakit, jika ketiga faktor di atas tidak berada dalam kondisi setimbang. Masyarakat Bali juga meyakini, bahwa baik faktor natural maupun supra natural (kesalahan dalam upacara, disalahkan oleh leluhur) dapat mengakibatkan kondisi sakit tersebut.
Komunitas tradisional di Bali selalu dikaitkan dengan hal - hal yang berbau magis, dan sebagai konsekuensinya maka pola pikir tradisional menjadi kurang begitu atraktif di jaman kini. Hal ini terjadi, karena sulitnya menjelaskan arti harfiah dari pola pikir tersebut. Maka, hal ini pulalah yang mengakibatkan semakin banyaknya interpretasi dalam upaya memahami arti dari pola pikir tradisional tersebut.
Propinsi Bali kini telah banyak mengalami perubahan, khususnya bila ditinjau dari segi kebudayaan, karakter dan kenyamanan hidup masyarakat. Propinsi Bali sebagai propinsi dengan budi daya yang tinggi memerlukan perhatian dan penataan yang sedemikian rupa karena telah terjadi keberagaman kultural dalam masyarakat yang heterogen. Perhatian dan penataan ini harus dijabarkan dalam konteks budaya yang multikultural dan majemuk, sehingga bisa membuat seluruh kota - kota di propinsi Bali lebih hidup, memiliki daya tarik visual (karena kekayaan seni dan budayanya), memiliki daya tarik sosial (karena toleransi masyarakatnya yang tinggi), sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pariwisata yang tengah mengalami kelesuan.
Propinsi Bali dalam perkembangannya dipenuhi oleh pendatang luar, baik yang menetap sebagai pemukim-pemukim liar sehingga menciptakan kesemrawutan dalam tata ruang dan mengakibatkan kumuhnya tatanan kota, maupun karena meningkatnya laju urbanisasi dan pariwisata yang berdampak pada tingginya kebutuhan dan pemakaian energi dan meningkatnya pencemaran yang terjadi.
Sebagai pusat pariwisata di Indonesia dan sebagai barometer pariwisata dunia, permasalahan yang dihadapi tentu saja sangat berbeda dengan propinsi lainnya yang ada di Indonesia, khususnya dalam menetapkan lahan dan tata ruang yang tepat serta upaya penanganan limbah dan pencemaran, sebagai hasil proses industri.
Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-filsafati, (2) empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan prinsip seperti berikut:
Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku pembangunan.
Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.
Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan, namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan lingkungan, belum optimal.
Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.
Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena bergesernya nilai - nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan, sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan pengembangan Bali secara berkesinambungan.
Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan suatu local genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di Bali.
Tinjauan Budaya
Kebudayaan bukanlah merupakan suatu rangkaian kata yang sederhana yakni sebuah sistem yang mengorientasikan hubungan antara sesama manusia dan sekitarnya tetapi mengandung pula khasanah ideologi, yang sebagai akibatnya akan menimbulkan pertanyaan berupa: apa yang dicari serta untuk apa. Beberapa kajian tentang kebudayaan Bali telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar masih berkisar pada aspek antropologi serta kurang menyentuh sisi yang paling dasar yakni arsitektur tradisional Bali itu sendiri.
Meskipun arsitektur tradisional Bali memegang peranan yang sangat penting dalam komunitas dan budaya Bali (khususnya dalam tata ruang), masih sedikit yang berupaya untuk menggali potensinya lebih dalam.
Budaya tradisional di Bali memang tidak berubah secara dramatis. Pernyataan dari Bateson dan Mead serta Suryani dan Jensen dapat dipergunakan untuk mempelajari perubahan - perubahan dalam kebudayaan Bali. Meskipun Covarrubias dan Ramseyer berpendapat bahwa masyarakat Bali dapat berasimilasi dengan budaya baru serta menyatukannya dalam budaya tradisional (tanpa harus menghancurkan budaya tradisional itu sendiri), namun pergeseran budaya itu sendiri tetap terjadi, sehingga sedikit banyak telah mengubah tatanan yang ada.
Sejak dikembangkannya Bali menjadi daerah tujuan wisata dalam kurun dua dasa warsa belakangan ini, telah terjadi perkembangan yang sangat dinamis dalam hal kebudayaan, terlebih karena budaya yang dibawa oleh para pendatang telah ikut membentuk dan memberi warna dalam tata ruang di propinsi Bali.
Gubernur Bali saat itu, almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mengeluarkan edaran yang meminta para pejabat di Bali memakai arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah. Hal ini sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.
Beliau juga berinisiatif mengatur tata ruang dan ketinggian gedung (sempadan vertikal) hingga maksimal sampai 15 meter dari permukaan tanah. Para arsitek sejumlah hotel berbintang di Bali menjabarkan kebijaksanaan ini dengan jalan membangun gedung-gedung dan menata ruang sedemikian rupa sehingga mampu mencirikan pola arsitektur tradisional Bali yang sekaligus bisa memenuhi fungsi-fungsi perhotelan berstandar internasional.
Meskipun kini banyak gedung - gedung dibangun dengan memakai pola arsitektur Bali, bangunan tersebut tetap tidak sama dengan gedung - gedung pada pola arsitektur tradisional Bali maupun konsep Tri Hita Karana yang sebenarnya.
Hal ini terjadi karena tinggi gedung, orientasi dan jarak antar gedung pada pola arsitektur tradisional Bali yang sebenarnya sangat tergantung pada letak dan fungsinya masing - masing. Gedung - gedung bernuansa Bali tersebut juga tidak dapat disebut sebagai ukuran yang ringkas (compact) dari bangunan tradisional Bali yang sebenarnya, karena hampir serupa dengan bangunan modern biasa yang dikemas dalam ornamen - ornamen Bali. Karenanya, pemakaian arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah belumlah dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.
Tinjauan Terhadap Pola Pikir Tradisional
Dalam kehidupan sehari - hari, masyarakat Bali senantiasa percaya bahwa ada tiga faktor yang mesti dijaga kesetimbangannya, yakni mikrokosmos (pribadi masing - masing orang), makrokosmos (alam semesta) dan Hyang Widhi (Tuhan).
Konsep kesetimbangan hubungan di antara ketiga faktor ini disebut sebagai Tri Hita Karana. Mengacu pada konsep di atas, masyarakat Bali mengatur peruntukan suatu areal menjadi wilayah pawongan, palemahan dan parahyangan, berturut - turut untuk mikrokosmos, makrokosmos dan Hyang Widhi. Selain itu, wilayah dibagi pula berdasarkan pada arah hulu dan hilir. Wilayah hulu dinyatakan pada arah dimana matahari terbit atau dataran yang lebih tinggi berada (sebagai contoh bukit dan gunung). Sebaliknya, wilayah hilir diberikan pada arah dimana matahari terbenam atau pantai. Nordholt menyatakan bahwa fluida inilah yang diyakini bersirkulasi dari pegunungan yang suci menuju ke pantai, serta dari pantai akan kembali lagi ke gunung (sebagai angin dan hujan). Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kehidupan di Bali merupakan pergerakan yang konstan dan berkesinambungan antara hulu dan hilir.
Mengacu pada konsep Tri Hita Karana tersebut, desa - desa di Bali selalu menempatkan pura (tempat pemujaan) pada wilayah hulu, sedangkan tempat - tempat pembuangan diletakkan pada bagian hilir. Masyarakat Bali membuat perbedaan yang tegas antara wilayah pemukiman dan wilayah yang diperuntukkan bagi bangunan - bangunan umum, seperti halnya pura, wantilan dan pasar. Karenanya, sebuah desa merupakan satu kesatuan yang utuh dimana setiap individu adalah tubuh serta setiap institusi adalah organ tubuh itu sendiri. Prinsip orientasi bangunan terhadap arah hulu dan hilir inilah yang mengatur distribusi bangunan - banguan suci dan perumahan pada daerah tradisional.
Tinjauan Terhadap Permasalahan yang Berkembang Pembangunan fisik yang banyak kita jumpai saat ini adalah berupa sarana transportasi, gedung - gedung bertingkat (baik untuk perkantoran, hotel - hotel, apartemen dan pertokoan), perumahan, serta taman wisata. Semua ini dibangun baik dengan memanfaatkan lahan kosong, lahan produktif maupun lahan yang sebenarnya berpotensi sebagai daerah penyangga. Meskipun propinsi Bali telah sukses meraih penghargaan Adipura, namun kriteria untuk menjadikan seluruh kota sebagai daerah yang nyaman belum tercakup di dalamnya. Justru sebaliknya, temperatur rata - rata di beberapa kota semakin meningkat dalam satu dasa warsa ini. Pencemaran juga menjadi persoalan yang berpengaruh terhadap kenyamanan penghuni, sehingga harus menjadi parameter penting dalam penataan kota.
Konsep pembangunan di propinsi Bali memang sebaiknya ditinjau kembali. Pembangunan dan penataan kota nantinya dapat saja bersandar kepada nilai - nilai luhur tradisional yang telah teruji kebenarannya, namun sebelum melangkah lebih jauh perlu disadari bahwa arsitektur tradisional Bali selalu dikaitkan dengan aturan - aturan yang bersifat magis. Sebagai contoh, masyarakat umum selalu mengaitkan tempat - tempat suci dengan istilah - istilah sakral. Bagaimana masyarakat umum mendefinisikan serta menjabarkan istilah - istilah sakral tadi ditinjau dari konteks kekinian belum pernah dijabarkan dan diformulasikan. Belum ada yang mampu memberikan kajian mendalam ataupun menjabarkannya menjadi formula yang bisa diterima oleh seluruh komponen masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa arsitektur tradisional Bali -yang justru berperanan banyak dalam komunitas masyarakat Bali- menjadi kurang atraktif dalam pembangunan modern sekarang ini, terlebih dengan terbatasnya lahan yang ada sehingga menyulitkan pembangunan gedung dengan pola arsitektur tradisional Bali yang murni.
Bila pembangunan di propinsi Bali kembali didasarkan pada nilai - nilai luhur tradisional Bali, satu pertanyaan yang akan muncul adalah: apakah keunggulan dari pola arsitektur tradisional bila dikaitkan dalam jaman modern dengan permasalahan yang semakin kompleks, khususnya bila ditinjau dari segi sosial, budaya, ekonomi, keamanan serta kenyamanan? Pertanyaan selanjutnya adalah: dapatkah pola - pola tradisional tersebut dijadikan baku standar dan disosialisaikan, seperti halnya pada negara - negara maju yang senantiasa memiliki kodifikasi standar dalam pembangunannya?
Bila kedua pertanyaan di atas dapat diberikan alasan yang tepat, maka kodifikasi bangunan selain sebagai upaya untuk menstandarkan pola bangunan, pola pembangunan dan pengembangan, ia sekaligus juga akan melestarikan bangunan - bangunan tradisional Bali itu sendiri.
Agar mampu menjadi suatu standar dalam pembangunan yang berkelanjutan, maka :
1. Konsep Tri Hita Karana -sebagai konsep keseimbangan dalam budaya dan masyarakat Bali- mampu menjadi acuan pembinaan, peningkatan pembangunan yang berkualitas, serta menjadi standar dalam pengembangan dan pembangunan, sehingga selain mencirikan nuansa Bali yang berwawasan lingkungan juga dapat menjadi acuan dalam pembangunan di dunia internasional.
2. Konsep Tri Hita Karana, sebagai suatu local genius Bali, mampu menggabungkan beberapa macam ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan standar baku pembangunan dengan lebih mengedepankan konsep tradisional Bali, serta kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah - masalah yang ada maupun yang akan datang.
3. Konsep Tri Hita Karana mampu menjawab berbagai persoalan yang terbaru dan mampu mengantisipasi dampak teknologi dan perkembangan iptek terhadap budaya dan lingkungan.
Ada beberapa pemikiran yang melandasinya, yakni :
1. Sekalipun pembangunan dan pengembangan propinsi Bali lebih menitik beratkan pada nilai - nilai luhur tradisional, namun diupayakan agar tidak bersifat sektarian dan primordial, tetapi cenderung pada budaya multikultural dan pluralistik, hingga sanggup menampung budaya Bali yang terus menerus berproses dan berkembang.
2. Penataan kota - kota dan pola pembangunan dengan metoda yang sektarian cenderung akan menjadikan kota - kota dan pola pembangunan tersebut semuanya harus berdasar pada arsitektur Bali. Budaya multikultural dan pluralistik yang dimaksudkan adalah budaya dimana ada proses sinkretisme, inkulturasi serta asimilasi kultural dalam perkembangannya, sehingga akan dihasilkan budaya kekinian yang dapat diterima dan dirasakan oleh semua pihak, yang dapat terus mengantisipasi perkembangan itu sendiri.
3. Penataan dan pengembangan seluruh sub-sistem yang meliputi semua sarana dan prasarana untuk mendukung pemakaian konsep Tri Hita Karana secara professional, serta terus - menerus menggali dan melaksanakan penelitian tentang konsep tersebut secara optimal.
4. Kontribusi ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan konsep - konsep terbaru yang memiliki relevansi yang kuat demi terwujudnya upaya untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar pembangunan di Bali.
5. Pemberdayaan sumber daya yang ada secara efektif dan penerapan sistem perbaikan kualitas secara kontinyu di segala sektor dengan menggunakan langkah - langkah terprogram, untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan di Bali.
6. Upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penelitian dan pengembangan konsep Tri Hita Karana, sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat.
7. Memberikan informasi tentang orientasi pengembangan teknologi dan iptek di Bali dalam pembangunan jangka panjang, penelitian tentang pembangunan dan pengembangan Bali, baku mutu standar dalam upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman sosial, budaya dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengembangan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman informasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemakaian dan upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali.
"Om Santih Santih Santih Om".