DEWA GEDE RAMAYADI

Menu
  • Home
  • SEJARAH
    • MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SILSILAH
  • SEMETON MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SEMETON SATRIA TAMANBALI BANGLI NYALIAN
    • SEMETON SATRIA TAMAN BALI
    • SEMETON TITIANG SATRIA TAMAN BALI RING TAMBAHAN
      • SILSILAH TAMBAHAN
  • TUNTUNAN AGAMA HINDU
    • Doa - Doa Hindu
      • Doa - Doa Hindu
      • Kidung - Kidung
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Upacara Sudhhi Wadani
    • Rahina Saraswati
    • Rahina Pagerwesi
    • Rahina Galungan - Kuningan
    • Rahina Tumpek Landep
    • Banten Pejati
    • Kidung - Kidung
    • Rentetan Hari Raya GALUNGAN DAN KUNINGAN
  • BOOKS
    • Analisis Kebijakan Publik
      • Analisa Kebijakan Publik
      • Dewa Gede Ramayadi
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Analisa Kebijakan Organisasi
    • Analisa Kebijakan Publik
    • Analisa Kebijakan Pariwisata
  • BUDAYA
    • BUDAYA BALI
    • BUDAYA INDONESIA
    • BUDAYA MANCANEGARA
  • BABAD TIRTA HARUM
  • PAKET TOUR OBJEK WISATA BALI
    • PAKET TOUR KELUARGA
    • Obyek Wisata Bali
    • PAKET TOUR 3H2M
    • TOUR BALI
    • BALI
    • LIBURAN DI BALI
    • BALI
    • CHANNEL YOUTUBE
    • HOTEL

Saturday, September 9, 2017

SIWA RATRI DALAM KONSEP LUBDAKA KEKINIAN DI ZAMAN SERBA INSTANT

September 09, 2017 No comments


Oleh. Dewa Gede Ramayadi

Om Swastyastu,

Brata Siwaratri mengandung makna mendalam sebagai bahan renungan diri dan sebagai praktek religius tentu tidak cukup  hanya diwacanakan, melainkan perlu menyelami dan mempraktekannya. Tanpa hal itu kita tidak akan menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Seperti pemain bola tidak cukup hanya mengetahui teori bagaimana teknik bermain bola melainkan perlu memainkannya di lapangan. Siwaratri berasal dari bahasa sansekerta, terdiri dari urat kata siwa dan ratri. Siwa artinya baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan dan membahagiakan. Ratri artinya malam  atau kegelapan. jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.

 Hakekat  perayaan Siwaratri adalah untuk menyadari akan keberadaan sang diri yang sejati, sebagai wahana mawas diri agar senantiasa waspada dalam menjalani lika-liku kehidupan. Oleh karena itu sungguh disayang jika perayaan ini dilewatkan begitu saja. Siwaratri yang dirayakan setiap tahun, tepatnya pada purwaning tilem kepitu merupakan hari suci yang dirayakan oleh umat Hindu seluruh Indonesia begitupun juga di India.

            Acuan perayaan Siwaratri terdapat pada naskah-naskah suci berbahasa Sanskerta di India yaitu: Sivapurana, Garudapurana, Skandapurana, dan Padmapurana. Pada Padmapurana menguraikan tentang keagungan Brata Siwaratri yaitu brata yang paling utama diantara semua brata, bagaikan Meru diantara pegunungan, bagaikan matahari diantara semua yang menyala, bagaikan pertapa diantara mahluk mahluk yang berkaki dua, bagaikan Kapila diantara mahluk mahluk yang berkaki empat, bagaikan Gayatri diantara semua Mantram, bagaikan amreta diantara yang cair, bagaikan Wisnu dari semua pria, bagaikan Arundatai diantara para wanita (padma purana 239.7-9a).

Sedangkan di Indonesia Siwaratri ditulis dalam lontar berbahasa Jawa kuno seperti Siwaratri kalpa karangan Mpu Tanakung yang menceritakan kisah seorang pemburu  bernama Ludhaka  mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa  sehingga mencapai Siwaloka (Sorga). Berkenaan dengan perayaan Siwaratri ada tiga brata yang dapat dilaksanakan yaitu monobrata (tidak bicara selama 12 jam), upawasa (berpuasa selama 24 jam), jagra (melek atau tidak tidur selama 36 jam), mulai pukul 06.00 pangglong ping 1 sampai pukul 18.00 tilem sasih kapitu.

Hari Siwaratri yang jatuh pada Purwaning Tilem Kapitu, Kamis tanggal 26 Januari 2017
ini, merupakan momen yang sangat tepat untuk merenung dan mengendalikan diri.
Pada hari suci penuh pengampunan, umat Hindu diajak untuk bisa mengekang
hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi. Nilai-nilai apa yang bisa
dipetik dari malam Siwaratri dalam konteks kekinian?
Kemudian, apakah figur si pemburu Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri masih relevan dengan kehidupan sekarang? 
Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak
hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dibwh ini.

RAGADI MUSUH MAPARO,
RING HATI YA TUNGGUWANNYA TAN MADOH RING DEWEK
Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat
Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri

Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya
manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari proses ini.

Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dlm artian jangan ada kalimat kepalang aaaaaahh…….hehehehehe  (itu jangan amit amit amit)

Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang? 

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut :

Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapa / mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dansebagainya.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Melaksanakan monobrataberarti  tidak berbicara, banyak pula umat Hindu memaknai dengan penafsiran yang berbeda-beda, ada yang melakukan monobrata  memaknai bahwa betapa sulitnya menjadi orang yang tuna wicara (bisu) mereka tidak bisa mengepresikan dirinya layaknya seperti orang normal, ketika memaknai seperti hal tersebut, maka akan menimbulkan rasa syukur atas anugrah yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, bahwa dirinya masih dikaruniai panca indra yang sempurna. Selanjutnya ada pula yang memaknai monobrata adalah bentuk pengendalian kata-kata secara eksternal karena menurut para guru suci mengucapkan kata-kata yang tidak penting hanya membuang-buang energi, bukan berarti kita memutuskan untuk tidak berbicara tetapi berbicaralah bila hal itu penting untuk diwacanakan. lebih baik energi yang tersia-siakan dialihkan untuk menyadari keagungan Tuhan.

Jika dicermati lebih dalam esensi dari monobrata tidak hanya sekedar mendiamkan ucapan secara eksternal tetapi mengalirkan kata-kata secara internal. Apa itu kata-kata secara eksternal dan internal? Kata-kata eksternal yaitu menyangkut ucapan sedangkan kata-kata internal menyangkut pikiran. ketika melaksanakan monobrata ucapan dapat dikendalikan tetapi pikiran masih tetap berkata-kata dalam hati, membicarakan hal-hal yang sia-sia bahkan sampai ribuan kali, sehingga pikiran  ibaratkan burung yang hanya berkicau di dalam sangkarnya namun tidak dapat mengekpresikannya di alam bebas. Maka dari itu monobrata adalah melatih diri untuk melakukan meditasi (dhyana) yaitu mendiamkan ucapan dan mengalirkan gerak pikiran menuju kesadaran Tuhan dalam manisfestasi Sang Hyang Siwa.

Selanjutnya upawasa(puasa) idealnya sering diartikan hanya menahan lapar dan haus. Apakah hanya itu saja? Sebagian umat yang melakukan puasa memaknai sebagai wujud cinta kasih kepada semua mahluk terutama manusia, karena dengan berpuasa apabila dilakoni dengan tulus maka kita diajak untuk merasakan penderitaan orang lain bahwa dirinya dilahirkan adalah orang yang lebih beruntung dari mereka yang membutuhkan uluran tangan. Seseorang akan ikut merasakan bagaimana orang yang menderita kekelaparan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari sana akan muncul perasaan untuk menolong orang yang sedang kesusahan. Maka  dari itu untuk menterjemahkan ayat suci Vasudaiwa khutumbhakam (semua adalah saudara) dalam kehidupan sehari-hari dapat terealisasikan.

Selain itu dilihat dari ilmu kedokteran puasa dapat menyehatkan tubuh, karena dengan berpuasa sistem percernaan dalam tubuh tidak bekerja seperti biasa sehingga mengalami rileksasi, seperti mesin apabila tidak pernah diberikan jeda dalam mengelola bahan baku, maka kemungkinan besar akan lebih cepat mengalami kerusakan begitu juga sistem percernaan dalam tubuh. Puasa semestinya dilakukan 24 jam bukan setengah hari, karena ilmiahnya proses makanan yang diolah dari lambung menuju usus kurang lebih 18 jam untuk bisa disuplai keseluruh tubuh dan sisanya dikeluarkan berupa kotoran. Ketika puasa dilakukan sehari penuh maka sistem percernaan mengalami peristirahatan dan pemurnian kembali, inilah alasan mengapa umat Hindu melakukan puasa 24 jam. Selain itu menurut Sri Anandamurti mengatakan ketika orang sering melakukan puasa juga bermanfaat untuk kesehatan mental dan emosi, bahkan dianjurkan menjelang bulan purnama dan bulan mati (tilem) yaitu pada saat ekadasi (hari ke- 11 menjelang Bulan purnama dan tilem), karena saat itu daya gravitasi bulan dapat berpengaruh negatif terhadap mental dan emosi, hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wicca Spirituality di Britania bahwa  puncak kekacauan pikiran terjadi pada saat bulan purnama dan bulan mati. Data yang ditemukan saat itu tingkat kejahatan meningkat mencapai 14 % ,rumah sakit dipenuhi pasien-pasien yang rata-rata penyakitnya disebabkan oleh pengaruh pikiran, kemudian data  kepolisian mencatat tingkat kecelakaan meningkat, hasrat seksual pemuncak dan banyak terjadi kasus pemerkosaan. Mengapa bisa demikian?
Sebab saat bulan purnama dan bulan mati air laut mengalami pasang surut, maka unsur air dalam tubuh manusia ikut meningkat karena tubuh manusia terdiri dari 70 % unsur air, maka dengan puasa akan mampu mengatasi ketegangan fisik, mental dan emosi seperti juga di katakan oleh Prof. I Ketut Widnya dalam sesi dharma tula “ketika lidah dapat dikendalikan maka perut dan alat kelamin pun dapat dikendalikan karena posisi ketiganya sejajar” oleh karena itu betapa pentingnya melakukan puasa untuk mendapatkan ketenangan lahir bhatin.

Selanjutnya yaitu Jagra yang diartikan melek atau tidak tidur selama 36 jam, tentu hal ini dirasakan  sangat sulit untuk dilakukan apalagi cara berfikir sebagian orang masa kini lebih mengedepankan pendekatan ilmiah  dari pada pengetahuan intuitif. Maka pertanyaan pun muncul bukankah begadang yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan? Barangkali fakar kesehatan menjawab ia. lain halnya dengan pencari kebenaran sejati maka jagraadalah bentuk pengorbanan diri kepada Tuhan (tapa), mereka rela menahan rasa ngantuk sebagai  curahan bhaktinya kepada Sang Hyang Siwa yang telah memberikan segalanya kepada dunia untuk dinikmati oleh ciptaan_Nya. Mereka merasa bahwa cinta kasih Tuhan tidak dapat dibayar dengan harta yang berlimpah sekalipun. Karena harta maupun kekayaan yang didapatkan  berasal dari Tuhan, maka dari itu dengan melakukan jagramerupakan salah satu jalan untuk meraih kasih-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam Siwapurana kisah seorang pemburu kijang yang sangat kejam bernama Rurudruha tanpa sengaja melakukan brata saat Siwaratri mendapatkan berkat dari Dewa Siwa, Beliau menghapuskan segala pikiran jahat dalam pikirannya.  Oleh karena itu pada saat siwaratri adalah moment yang tepat untuk mendapatkan berkat-Nya, sehingga orang yang terberkati oleh Tuhan akan selalu bertindak berdasarkan wiweka dan menuruti hati nuraninya.

Jadi hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan Hyang Siwa, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat
dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena
pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa”
buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ;
upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang
Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka karmawasananya akan selalu
diperhitungkan oleh sang Surat-atma, kurangi dosa, perbanyaklah bertobat.

Rsi Empu Tanakung juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua
jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur
melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah,
di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru
disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan
lebih khusuk.

SIWA RATRI DALAM KONSEPT KEKINIAN DI ZAMAN SERBA INSTANT  terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :

Tilem kepitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang
lebih gelap dari ”SAPTATIMIRA” PETENG PITU”

JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan mempelejari ilmu - ilmu keagamaan yang kita yakini ”HINDU”

MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan melakukan japa mala.

UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran - orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah - sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.

Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti ).

Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok
harus lebih baik dari yang sekarang,
itu prinsip


Inggih
suksme pisan niki wantah aturan titiang maring Ide dane pare darmika sinamian,
mogi wenten pikenohnyane.
Titiang
Dewa Gede Ramayadi


Om Shanti Shanti Shanti Om
Namaste.

Read More

Friday, June 23, 2017

PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANGUN PURA

June 23, 2017 No comments
Om Swastyastu,
 
1. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.

Di dalam prasasti Turunyan A I th. 891 M ada disebutkan Sanghyang di Turuñan " yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan di atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe " Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M) datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga. Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur, sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam lontar Dewa Tattwa.

Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.

Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.

Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).

Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian) Roh Leluhur dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah - olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang bersama - sama dengan unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada konsepsi Pura sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung (Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.
2. Pengelompokan Pura

Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :

1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.

Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.

Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.

Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:

1). Pura Umum.

Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.

Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.

Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.

Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.

2). Pura Teritorial

Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.

Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.

3). Pura Fungsional

Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.

Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pemujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.

Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.

4). Pura Kawitan:

Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .

Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :

a. Berdasarkan atas Fungsinya :

1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.

2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman

b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:

1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.

2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.

3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .

4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.

Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
3. Tata Upacāra Membangun Pura 
a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah. 
Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang.  
Upacāra ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala (palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta Bumi.
c. Upacāra Nasarin. 
Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara, dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh, 
Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/ Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/ mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura masing-masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan. 
Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun juga ada yang berbeda.
Tata cara membuat dan memendem pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun Meru di Besakih.
Adapun cuplikan Bhisama dimaksud adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7, tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya, utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa, maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas, slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas, slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning tumpang merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2, wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang. Asampunika kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8 tali, nista 4 tali.
Malih pedagingan padmasana ring dasar pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep, wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga, miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas, slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara, pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika, kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas, masoca mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring padmasana"
Untuk cuplikan ini kiranya tidak perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat Hindu yang ada di Bali.
f. Ngenteg Linggih.
Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacāra ditandai dengan membangun Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat) soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh) butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua). Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan, lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng, tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap. Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa, telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding, dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten di bawah panggungan dilengkapi dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal. Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan, didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.
Pada Sanggar tutuwan, bebantennya adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih), berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Catatan: Tingkatan Upakāra dan Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih
4. Upacāra Pujawali (Odalan)
Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan Para Dewa sekalian.
Bagi umat Hindu (etnis Bali) khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi, terutapa meyakinkan getaran-getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan kita sebagai manusia amat tergantung daripada-Nya.
Ungkapan rasa terima kasih kita kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu dalam melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti petunjuk-petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II sloka 12 - 13 berbunyi sebagai berikut :
"istam bhogam hi vo dava dasyate Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" - Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepada-Nya adalah pencuri.
"Yajnasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty atmakaranat" - Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya sendiri.
Dengan demikian sudah amat wajarlah setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan Yadnya kepada-Nya.
Namun apa yang paling penting dalam melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci - bersih), bukan didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan berikutnya menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan :
"Patram puspam phlam toyam yo me bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" - Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga, buah-buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan beberapa petunjuk di atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan dan mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian sebuah Pujawali / Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :
a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan:
 Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima) Jenis dari Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit, Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh, dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah diingsah, cili lanang-istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2, canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras direka menyerupai manusia laki dan perempuan (yang laki-laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian Upacāra pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan Tirtha Panginih-inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.
d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c). Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.  Jika tidak ada kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan 1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung dan Banten.
e. Upacāra Pecaruan
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida pedanda Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Caru, Bale untuk Nedunang - Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Pandita/Pinandita mapuja ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha Pecaruan (Byakala, Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah Timur-Tenggara-Selatan - Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita / Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita / Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10. Nyarub Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud, Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam (prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita / Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.
f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa
 Telajakan Wastra Putih dari Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari.  Di Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan: Segehan Agung, Arak-Berem-Tuak.  Perlengkapan lainnya: Peasepan, Kober, Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane, Tempat Tirtha, Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur.  Banten Arepan ; Peras, Daksina, Segehan,  Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah Semua Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa, diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua prosesi di atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha, Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d. Tedun dari panggungan dengan melewati Panggungan dengan urut-urutan dari depan:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag
 Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26 orang
g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati
1, Pangulapan, Datengan, Canang Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan dan atau bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2. Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4. Bleganjur sampai di depan Kori Agung
h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati
1, Masing-Masing Daksina Pralingga: banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat), di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari Untuk Mesucian
i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)
Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak), Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat Wangi, Wastra (kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1. Pinandita mulai ngaturang banten bersamaan ketika Ida Bhatara Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e. Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan 3. Persiapan Purwa Daksina
j. Upacāra Mapurwa Daksina
1. Pinandita ngaturang Segehan Agung di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2. Urut-urutan Purwa Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag  Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina Pralingga  Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat • Selesai Purwa Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh Pinandita dibantu Para Sutra
k. Upacāra Pujawali
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci, tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Tirtha padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha dari Pandita g. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan:  Semua kegiatan a – g dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 16 orang pengayah untuk prosesi ini. 1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama Santih
l. Upakāra Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati, Kopi /Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih yang lainnya: masing-masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara Nganyarin dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat sembahyang. Jika pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan
m. Upacāra Penyineban
1. Pinandita ngaturang Banten Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa Daksina:  Peasepan  Penuntunan  Mamas  Umbul-umbul  Banten pemagpag  Banten Penuntun dewa  Banten Pangiring  Cane  Rantasan  Tempat Tirtha  Daksina Pralingga  Tedung  Salaran  Tegen-tegenan Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di Asagan 7. Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina Pralingga 10. Banten Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13.  Meprani
n. Upacāra Ngelemekin
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci 2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas Catatan:  Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala  Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6. Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar 11. Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh
o. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi tugas Umat Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan yang lebih besar dan untuk kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya, namun ada baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita bersama - Moksartham Jagadhita.
"Om Santih Santih Santih Om".
Sumber : I Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)
dewagederama.blogspot.com 
Read More

Friday, April 28, 2017

BANTEN PEJATI

April 28, 2017 No comments
Om Swastyastu,

BANTEN PEJATI


I. Daksina
Alasnya memakai wakul / srembeng / katung yang terbuat dari janur / slepan / blarak, kemudian di dalamnya diisi tampak, uang, porosan / base tempel, beras secukupnya, sebutir kelapa yang telah dibersihkan, 7 buah kojong yang masing-masing berisi kluwek, kemiri, bumbu-bumbuan, kacang-kacangan, telor itik mentah 1, papeselan (5 jenis dedaunan seperti : daun salak, daun durian, daun nangka, daun manggis dan daun duku) dan buah-buahan (pisang). Kelapa disisipi benang berwarna putih, memakai sampyan payasan atau sampyan pusung, canang sari dan sesari daksina : adalah simbol stana Tuhan, simbol makro kosmos.


II. Peras
Alasnya tamas / aledan / ceper, berisi kulit peras kemudian disusun di atasnya beras, benang dan base tempel serta uang. Diisi buah-buahan dan pisang secukupnya, kue, tumpeng 2 buah, rerasmen (lauk pauk) yang dialasi kojong rangkat, sampyan peras, canang sari peras adalah jenis banten permohonan agar upacara tersebut sukses (prasida).

III. Soda / Ajuman
Alasnya tamas / aledan : berisi buah, pisang, kue dan nasi berbentuk penek (bundar) 2 buah, rerasmen yang dialasi Tri Kona, sampyan plaus / petangas, canang sari
Soda / ajuman dipakai sarana untuk memuliakan, mengagungkan Hyang Widhi dan lambang keteguhan / kokoh.



IV. Ketipat Kelanan
Alas tamas / aledan / ceper berisi buah, kue dan pisang, ketupat 6 buah (1 kelan) rerasmen dialasi tri kona ditambah 1 butir telor mateng, sampyan plaus / petangas, lambang terkendalinya sadripu sehingga ada keseimbangan.

V. Penyeneng / Tehenan / Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan adalah jejaitan yang berfungsi sebagai alat untuk nuntun, menurunkan prabhawa Hyang Widhi (antena receiver)
Mantra :
Om kaki penyeneng nini panyeneng kajenengan iru sanghyang Brahma Wisnu Iswara Chandra Lintang terang gona. Om Shri ya namah swaha

VI. Pasucian
Alas ceper yang di dalamnya berisi 7 buah tangkih kecil yang masing-masing tangkih berisi bedak (dari tepung), bedak kuning (tepung berwarna kuning), ambuh (kelapa diparut), kakosok (kue rengginang dibakar hingga gosong), daun kembang sepatu dirajang, pasta (asem,jeruk) dan minyak wangi. Di atasnya diisi takir dan aseban air cendana, dibuatkan sampyan payasan, sisir terbuat dari janur dan cerin dari janur.

VII. Segehan
Alasnya aledan / ceper diisi 12 tangkih dan 1 trikona dan masing-masing berisi nasi dengan lauk pauk bawang, jahe, garam.
Pejati Katur ring Sanghyang Catur Lokaphala :
  1. Peras             : kepada Sanghyang Iswara
  2. Daksina        : kepada Sanghyang Brahma
  3. Tipat             : kepada Sanghyang Wisnu
  4. Soda             : kepada Sanghyang Mahadewa
VIII. Beberapa makna filosfis dalam pejati:
Srembeng / wakul / srobong / katung adalah lambang Hukum Rta yaitu hukum abadi Tuhan
Tampak dara merupakan simbol keseimbangan baik makro kosmos maupun mikro kosmos
Porosan / base tumpel merupakan lambang dari konsep Tuhan sebagai Brahma (pinang), Wisnu (sirih), Iswara (kapur) dan Mahadewa (plawa)
Kelapa simbol pawitra (air keabadian / amertha) atau lambang alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan sapta loka karena ternyata kelapa terdiri dari 7 lapisan dari kulit luar hingga air di dalamnya.
Kluwek lambang pradhana / prakerti / unsur kebendaan / perempuan
Kemiri lambang purusa / unsur kejiwaan / laki-laki
Papeselan lambang Panca Dewata ; daun duku : Iswara; daun manggis : Brahma; daun durian : Mahadewa; daun salak: Wisnu; dan daun nangka : Siwa
Bumbu-bumbuan dan kacang-kacangan lambang sad rasa dan lambang kemakmuran
Beras lambang ibu pertiwi (Anantha Boga)
Benang pada daksina lambang naga Anantha Boga, Bhasuki dan Taksaka dalam proses pemutaran mandara giri untuk mencari amertha. Benang disini juga berarti alat/media penghubung antara pemuja dan yang dipuja
Telor mentah (itik) simbol awal dari kehidupan / getar-getar kehidupan, lambang bhuana alit. Telor terdiri dari 3 lapisan seperti pada manusia yaitu badan wadag, badan roh dan badan penyebab
Sesari pada daksina sebagai lambang saripati dari pekerjaan
Sampyan payasan / pusung / simbol dari konsep utpati, sthiti dan pralina (tri kona)
Aled peras / kulit peras untuk dapat berhasil diperlukan persiapan yaitu pikiran benar, ucapan benar, pandangan benar dan tujuan benar
Daun plawa lambang kesejukan
Bunga lambang cetusan perasaan
Bija benih-benih kesucian
Air  lambang pawitra / amertha
Api  saksi dan pendetanya yajna
Tri kona : upti, sthiti, pralina
Tamas : cakra atau perputaran hidup atau windu (simbol kekosongan yang murni/ananda)
Ceper : catur marga (bhakti, karma, jnana dan raja marga)

Om Santih, Santih, Santih Om
Read More
Newer Posts Older Posts Home

KSATRIA BRAHMANA WANGSA TREH TIRTA HARUM SATRIA TAMAN BALI "IDEWA TAMBAHAN" di TAMBAHAN KELOD

dewa gede ramayadi
View my complete profile

Recent Posts

Arsip Pencerahan Dumogi Mapikenoh

  • ►  1998 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  August (1)
  • ►  1999 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2000 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2002 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2011 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2012 (6)
    • ►  February (2)
    • ►  May (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2014 (3)
    • ►  April (2)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  February (1)
  • ▼  2017 (4)
    • ►  April (2)
      • BANTEN PEJATI
    • ►  June (1)
      • PENGERTIAN, PENGELOMPOKAN DAN TATA UPACARA MEMBANG...
    • ▼  September (1)
      • SIWA RATRI DALAM KONSEP LUBDAKA KEKINIAN DI ZAMAN ...
  • ►  2019 (4)
    • ►  January (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2020 (2)
    • ►  February (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2025 (1)
    • ►  April (1)

Popular Posts

  • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    Om Swastyastu, BABAD LELUHUR  MAHA GOTRA TIRTA HARUM Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing D...
  • LANDASAN DASAR, TATA CARA, PERSIAPAN, MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
    Om Swastyastu, Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah  merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan. salah s...
  • KIDUNG - KIDUNG
    KIDUNG DEWA YADNYA Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang Purwakaning angripta rumning wana ukir. Kahadang labuh. Ka...

Categories

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA
  • HARI RAYA SIWARATRI
  • LANDASAN DASAR
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
  • PANCA SRADHA
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI)
  • PERSIAPAN
  • SEJARAH AGAMA HINDU
  • TATA CARA

Report Abuse

Followers

Search This Blog

Link list 3

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA (1)
  • HARI RAYA SIWARATRI (1)
  • LANDASAN DASAR (1)
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU (1)
  • PANCA SRADHA (1)
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI) (1)
  • PERSIAPAN (1)
  • SEJARAH AGAMA HINDU (1)
  • TATA CARA (1)

Dumogi Rahayu Semeton Titiang Sareng Sami

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Copyright © DEWA GEDE RAMAYADI