Om Swastyastu,
1. Pengertian Pura
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Istilah Pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari jaman yang tidak begitu tua.Pada mulanya istilah Pura yang berasal dari kata Sanskerta itu berarti kota atau benteng yang sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Hyang Widhi.Sebelum dipergunakannya kata Pura untuk manamai tempat suci / tempat pemujaan dipergunakanlah kata Kahyangan atau Hyang. Pada jaman Bali Kuna dan merupakan data tertua kita temui di Bali, ada disebutkan di dalam prasasti Sukawana A I tahun 882M. Kata Hyang yang berarti tempat suci atau tempat yang berbubungan dengan Ketuhanan.
Di dalam prasasti Turunyan A I th.
891 M ada disebutkan Sanghyang di Turuñan "
yang artinya tempat suci di Turunyan"Demikian pula di dalam prasasti
Pura Kehen A ( tanpa tahun ) ada disebutkan pujaan kepada Hyang
Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa
Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.
Prasasti -prasasti yang disebutkan di
atas adalah prasasti Bali Kuna yang memakai bahasa Bali Kuna tipe "
Yumu pakatahu " yang berhubungan dengan keraton Bali Kuna di
Singhamandawa.Pada abad ke 10 masuklah bahasa Jawa Kuna ke Bali
ditandai oleh perkawinan raja putri Mahendradata dari Jawa Timur dengan
raja Bali Udayana. Sejak itu prasasti - prasasti memakai bahasa Jawa
Kuna dan juga kesusastraan - kesusastraan mulai memakai bahasa Jawa
Kuna. Dalam periode pemerintahan Airlangga di Jawa Timur (1019 - 1042M)
datanglah Mpu Kuturan dari Jawa Timur ke Bali dan pada waktu itu yang
memerintah di Bali adalah raja Marakata yaitu adik dari Airlangga.
Beliaulah mengajarkan membuat " Parhyangan atau Kahyangan Dewa " di
Bali, membawa cara membuat tempat pemujaan dewa seperti di Jawa Timur,
sebagaimana disebutkan di dalam rontal Usana Dewa. Kedatangan Mpu
Kuturan di Bali membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali.
Beliaulah mengajarkan membuat
Sadkahyangan Jagat Bali, membuat kahyangan Catur Loka Pala dan
kahyangan Rwabhineda di Bali. Beliau juga memperbesar Pura Besakih dan
mendirikan pelinggih Meru, Gedong dan lain-lainnya. Pada masing masing
Desa - pakraman dibangun Kahyangan Tiga. Selain beliau mengajarkan
membuat kahyangan secara pisik, juga beliau mengajarkan pembuatannya
secara spiritual misalnya: jenis - jenis Upacāra, jenis - jenis
pedagingan pelinggih dan sebagainya sebagaimana diuraikan di dalam
lontar Dewa Tattwa.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Pada jaman Bali Kuna dalam arli sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana - istana raja disebut Keraton atau Kedaton. Demikianlah rontal Usaha Bali menyebutkan "...Sri Danawaraja akadatwan ing Balingkang........"Memang ada kata Pura itu dijumpai di dalam prasasti Bali Kuna tetapi kata Pura itu belum berarti tempat suci melainkan berarti Kota atau Pasar, seperti kata wijayapura artinya pasaran Wijaya. Pemerintahan dinasti Sri Krsna Kapakisan di Bali membawa tradisi yang berlaku di Majapahit. Kitab Nagarakrtgama 73.3 menyebutkan bahwa apa yang beriaku di Majapahit diperlakukan pula di Bali oleh dinasti Sri Krsna Kapakisan. Salah satu contoh terlihat dalam sebutan istana raja bukan lagi disebut Keraton melainkan disebut Pura.Kalau di Majapahit kita mengenal istilah Madakaripura yang berarti rumahnya Gajah Mada, maka Keraton Dalem di Samprangan disebut Linggarsapura, Keratonnya di Gelgel disebut Suwecapura dan Keratonnya di Klungkung disebut Semara pura. Rupa - rupanya penggunaan kata pura untuk menyebutkan suatu tempat suci dipakai setelah dinasti Dalem di Klungkung disamping juga istilah Kahyangan masih dipakai. Dalam hubungan ini lalu kata pura yang berarti istana raja atau rumah pembesar pada waktu itu diganti dengan kata Puri. Pada periode pemerintahan Dalem Waturenggong di Gelgel (1460 - I 550 M ) datanglah Dang Hyang Nirartha di Bali pada Tahun 1489 M adalah untuk mengabadikan dan menyempumakan kehidupan agama Hindu di Bali. Beliau pada waktu itu menemui keadaan yang kabur sebagai akibat terjadinya peralihan paham keagamaan dari paham-paham keagamaan sebelum Empu Kuturan ke paham - paham keagamaan yang diajarkan oleh Mpu Kuturan yakni : antara pemujaan Dewa dengan pemujaan roh Leluhur, sehingga ada pura untuk Dewa dan ada pura untuk Roh Leluhur yang sulit dibedakan secara pisik.
Demikian pula bentuk - bentuk palinggih, ada meru dan gedong untuk Dewa dan meru dan gedong untuk Roh Leluhur. Terdapat juga kekaburan di bidang tingkat atap meru, misalnya ada meru untuk Roh Leluhur bertingkat 7 dan meru untuk Dewa bertingkat 3. Hal ini secara phisik sulit untuk dibedakan, walaupun perbedaannya, terdapat pada jenis padagingannya. Hal itulah yang mendorong Dang Hyang Nirartha membuat palinggih berbentuk Padmasana untuk memuja Hyang Widhi, dan sekaligus membedakan palinggih pemujaan Dewa serta Roh Leluhur.
Dalam perkembangan lebih lanjut kata Pura digunakan di samping kata Kahyangan atau Parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi (dengan segala manifestasinya ) dan Bbatara atau Dewa Pitara yaitu Roh Leluhur. Kendadipun demikian namun kini masih dijumpai kata Pura yang digunakan untuk menamai suatu kota misainya Amlapura atau kota asem (bentuk Sansekertanisasi dari Karang Asem ).
Meskipun istilah pura sebagai tempat suci berasal dari jaman yang tidak begitu tua, namun tempat pemujaannya sendiri berakar dan mempunyai latar belakang alam pikiran yang berasal dari masa yang amat tua. Pangkalnya adalah Kebudayaan Indonesia asli berupa pemujaan terhadap arwah leluhur disamping juga pemujaan terhadap Kekuatan Alam yang Maha Besar yang telah dikenalnya pada jaman neolithikum, dan berkembang pada periode Megalithikum, sebelum Kebudayaan India datang di Indonesia.
Salah satu tempat pemujaan arwah
leluhur pada waktu itu berbentuk punden berundak- undak yang diduga
sebagai replika (bentuk tiruan) dari gunung, karena gunung itu dianggap
sebagai salah satu tempat dari roh leluhur atau alam arwah. Sistem
pemujaan terhadap leluhur tersebut kemudian berkembang bersama-sama
dengan berkembangnya kebudayaan Hindu di Indonesia. Perkembangan itu
juga mengalami proses akulturasi dan enkulturasi sesuai dengan
lingkungan budaya Nusantara.
Kepercayaan terhadap gunung sebagai
alam arwah, adalah relevan dengan unsur kebudayaan Hindu yang
menganggap gunung (Mahameru ) sebagai alam dewata yang melahirkan
konsepsi bahwa gunung selain dianggap sebagai alam arwah juga sebagai
alam para dewa. Bahkan dalam proses lebih lanjut setelah melalui
tingkatan Upacāra keagamaan tertentu (Upacāra penyucian) Roh Leluhur
dapat mencapai tempat yang sama dan dipuja bersama - sama dalam satu
tempat pemujaan dengan dewa yang lazimnya disebut dengan istilah
Atmasiddhadewata.
Lebih - lanjut kadang kadang dalam
proses itu unsur pemujaan leluhur kelihatan melemah bahkan seolah -
olah tampak sebagai terdesak, namun hakekatnya yang essensial bahwa
kebudayaan Indonesia asli tetap memegang kepribadiannnya yang pada
akhimya unsur pemujaan leluhur tersebut muncul kembali secara menonjol
dan kemudian secara pasti tampil dan berkembang bersama - sama dengan
unsur pemujaan terhadap dewa Penampilannya selalu terlihat pada sistem
kepercayaan masyarakat Hindu di Bali yang menempatkan secara bersama
sama pemujaan roh leluhur sebagai unsur kebudayaan Indonesia asli dengan
sistem pemujaan dewa manifestasinya Hyang Widhi sebagai unsur
kebudayaan Hindu. Pentrapannya antara lain terlihat pada konsepsi Pura
sebagai tempat pemujaan untuk dewa manifestasi Hyang Widhi di samping
juga untuk pemujaan roh leluhur yang disebut bhatara. Hal ini
memberikan salah satu pengertian bahwa Pura adalah simbul Gunung
(Mahameru) tempat pemujaan dewa dan bhatara.
2. Pengelompokan Pura
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1). Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.
Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.
2). Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.
3). Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pemujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4). Pura Kawitan:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
Dari berbagai jenis pura di Bali dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa dan bhatara, dapat dikelompokkan berdasarkan fungsinya yaitu :
1. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi / dewa.
2. Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja bhatara yaitu roh suci leluhur.
Selain kelompok pura yang mempunyai fungsi seperti tersebut di atas, bukan tidak mungkin terdapat istilah pura yang berfungsi ganda yaitu selain untuk memuja Hyang Widhi /dewa juga untuk memuja bhatara. Hal itu di mungkinkan mengingat adanya kepercayaan bahwa setelah melalui Upacāra penyucian, roh leluhur tesebut telah mencapai tingkatan siddha dewata (telah memasuki alam dewata ) dan disebut bhatara.
Fungsi pura tersebut dapat diperinci lebih jauh berdasarkan ciri (kekhasan ) yang antara lain dapat diketahui atas dasar adanya kelompok masyarakat ke dalam berbagai jenis ikatan seperti : Ikatan sosial, politik, ekonomis, genealogis (garis kelahiran ). Ikatan sosial antara lain berdasarkan ikatan wilayah tempat tinggal ( teritorial ), ikatan pengakuan atas jasa seorang guru suci (Dang Guru) Ikatan Politik antara lain berdasarkan kepentingan Penguasa dalam usaha menyatukan masyarakat dan wilayah kekuasaannya. Ikatan ekonomis antara lain dibedakan atas dasar kepentingan sistem mata pencaharian hidup seperti bertani, nelayan , berdagang , nelayan dan lain - lainnya. Ikatan Geneologis adalah atas dasar garis kelahiran dengan perkembangan lebih lanjut.
Berdasarkan atas ciri - ciri tersebut, maka terdapatlah beberapa kelompok pura dan perinciannya lebih lanjut berdasarkan atas karakter atau sifat Kekhasannya adalah sebagai berikut:
1). Pura Umum.
Pura ini mempunyai ciri umum sebagai tempat pemujaan Hyang Widhi dengan segala manifestasinya (dewa ).Pura yang tergolong umum ini dipuja oleh seluruh umat Hindu, sehingga sering disebut Kahyangan Jagat . Pura pura yang tergolong mempunyai ciri - ciri tersebut adalah pura Besakih, Pura Batur, Pura Caturlokapala dan Pura Sadkahyangan, Pura Jagat Natha, Pura Kahyangan Tunggal. Pura lainnya yang juga tergolong Pura Umum adalah pura yang berfungsi sebagai tempat pemujaan untuk memuja kebesaran jasa seorang Pendeta Guru suci atau Dang Guru.Pura tersebut juga dipuja oleh seluruh umat Hindu, karena pada hakekatnya semua umat Hindu merasa berhutang jasa kepada beliau Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut Rsi rna. Pura pura tersebut ini tergolong ke dalam karakter yang disebut Dang Kahyangan seperti : Pura Rambut Siwi, Pura Purancak, Pura Pulaki, Pura Ponjok Batu, Pura Sakenan dan lain-lainnya. Pura pura tersebut berkaitan dengan dharmayatra yang dilakukan oleh Dang Hyang Nirartha karena peranannya sebagai Dang Guru.
Selain Pura pura yang di hubungkan dengan Dang Guru, tergolong pula ke dalam ciri Dang Kahyangan adalah Pura pura yang di hubungkan dengan pura tempat pemujaan dari Kerajaan yang pernah ada di Bali(Panitia Pemugaran tempat-tempat bersejarah dan peninggalan purbakala, 1977,10 ) seperti Pura Sakenan, Pura Taman Ayun yang merupakan Pura kerajaan Mengwi.
Ada tanda - tanda bahwa masing - masing kerajaan yang pemah ada di Bali, sekurang kurangnya mempunyai tip jenis pura yaitu: Pura Penataran yang terletak di ibu kota kerajaan, Pura Puncak yang ter!etak di bukit atau pegunungan dan Pura Segara yang terletak di tepi pantai laut.
Pura - pura kerajaan tersebut rupa - rupanya mewakili tiga jenis tempat pemujaan yaitu : Pura Gunung, Pura pusat kerajaan dan Pura laut . Pembagian mandala atas gunung, daratan dan laut sesuai benar dengan pembagian makrokosmos menjadi dunia atas atau uranis, dunia tengah tempat manusia itu hidup dan dunia bawah atau chithonis.
2). Pura Teritorial
Pura ini mempunyai ciri kesatuan wilayah ( teritorial) sebagai tempat pemujaan dari anggota masyarakat suatu banjar atau suatu desa yang diikat ikat oleh kesatuan wilayah dari suatu banjar atau desa tersebut.Wilayah banjar sebagai kelompok sub kelompok dari masyarakat desa adat ada yang memiliki pura tersendiri. Ciri khas suatu desa adat pada dasamya memiliki tiga buah pura disebut Kahyangan Tiga yaitu : Pura Desa, Pura Puseh, Pura Dalem yang merupakan tempat pemujaan bersama.Dengan perkataan lain, bahwa Kahyangan Tiga itulah merupakan unsur mengikat kesatuan desa adat bersangkutan. Nama nama kahyangan tiga ada juga yang bervariasi pada beberapa desa di Bali, Pura desa sering juga disebut Pura Bale Agung. Pura Puseh ada juga disebut Pura Segara, bahkan Pura Puseh Desa Besakih disebut Pura Banua.
Pura Dalem banyak juga macamnya. Namun Pura Dalem yang merupakan unsur Kahyangan Tiga adalah Pura Dalem yang memiliki Setra ( Kuburan). Di samping itu banyak juga terdapat Pura yang disebut Dalem juga tetapi bukan unsur Kahyangan Tiga seperti : Pura Dalem Mas Pahit, Pura Dalem Canggu, Pura Dalem Gagelang dan sebagainya (PanitiaPemugaran Tempat- tempat berseiarah dan peninggalan Purbakala, 1977,12). Di dekat pura Watukaru terdapat sebuah Pura yang bernama Pura Dalem yang tidak merepunyai hubungan dengan Pura Kahyangan Tiga, melainkan dianggap mempunyai hubungan dengan Pura Watukaru. Masih banyak ada Pura Dalem yang tidak mempunyai kaitan dengan Kahyangan Tiga seperti Pura Dalem Puri mempunyai hubungan dengan Pura Besakih. Pura Dalem Jurit mempunyai hubungan dengan Pura Luhur Uluwatu.
3). Pura Fungsional
Pura ini mempunyai karakter fungsional dimana umat panyiwinya terikat oleh ikatan kekaryaan karena mempunyai, profesi yang sama dalam sistem mata pencaharian bidup seperti : bertani, berdagang dan nelayan. Kekaryaan karena bertani, dalam mengolah tanah basah mempunyai ikatan pem ujaan yang disebut Pura Empelan yang sering juga disebut Pura Bedugul atau Pura Subak. Dalam tingkatan hirarkhis dari pura itu kita mengenal Pura Ulun Carik, Pura Masceti, Pura Ulun Siwi dan Pura Ulun Danu.
Apabila petani tanah basah mempunyai ikatan pemujaan seperd tersebut diatas, maka petani tanah kering juga mempunyai ikatan pemujaan yang disebut Pura Alas Angker, Alas Harum, Alas Rasmini dan lain sebagainya.
Berdagang merupakan salah satu sistim mata pencaharian hidup menyebabkan adanya ikatan pemujaan dalam wujud Pura yang disebut Pura Melanting. Umumnya Pura Melanting didirikan di dalam pasar yang dipuja oleh para pedagang dalam lingkungan pasar tersebut.
4). Pura Kawitan:
Pura ini mempunyai karakter yang ditentukan oleh adanya ikatan wit atau leluhur berdasarkan garis kelabiran (genealogis ). Pura ini sering pula disebut Padharman yang merupakan bentuk perkembangan yang lebib luas dari Pura Warga atau Pura Klen. Dengan demikian mika Pura Kawitan adalah tempat pemujaan roh leluhur yang telah suci dari masing- masing warga atau kelompok kekerabatan. Klen kecil adalah kelompok kerabat yang terdiri dari beberapa keluarga inti maupun keluarga luas yang merasakan diri berasal dari nenek moyang yang sama. Klen ini mcmpunyai tempat pemujaan yang disebut Pura Dadia sehingga mereka disebut.Tunggal Dadia. Keluarga inti disebut juga keluarga batih (nuclear family ) dan keluarga luas terdiri lebih dari satu keluarga inti yang juga disebut keluarga (extended family) Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri dan anak- anak mereka yang belum kawin .
Tempat pemujaan satu keluarga inti disebut Sanggah atau Merajan yang juga disebut Kemulan Taksu, sedangkan tempat pemujaan kciuarga luas disebut Sanggah Gede atau pemerajan agung. Klen besar merupakan kelompok kerabat yang lebih luas dari klen kecil (dadia) dan terdiri dari beberapa kelompok kerabat dadia. Anggota kelompok kerabat tersebut mempunyai ikatan tempat pemujaan yang disebut Pura Paibon atau Pura Panti. Di beberapa daerah di Bali, tempat pemujaan seperti itu ada yang menyebut pura Batur (Batur Klen), Pura Penataran ( Penataran Klen ) dan sebagainya. Di dalam rontal Siwagama ada disebutkan bahwa setiap 40 keluarga batih patut membuat Pura Panti, setiap 20 keluarga batih patut mendirikan Pura lbu, setiap 10 keluarga batih supaya membuat pelinggih Pratiwi dan setiap keluarga batih membuat pelinggih Kamulan yang kesemuanya itu untuk pemujaan roh leluhur yang telah suci .Tentang pengelompokan Pura di Bali ini , dalam Seminar kesatuan tafsir terhadap aspek - aspek agama Hindu ke X tanggal 28 sampai dengan 30 Mei 1984 ditetapkan pengelompokan pura di Bali sebagai berikut :
a. Berdasarkan atas Fungsinya :
1. Pura Jagat, yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabawanyaNya (manifestasiNya), dan dapat digunakan oleh umat untuk melaksanakan pemujaan umum, seperti purnama tilem, hari raya Hindu lainnya tanpa melihat asal, wangsa yang bersangkutan.
2. Pura kawitan, yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atma Siddha Dewata '(Roh Suci Leluhur), termasuk didalamnya: sanggah, merajan, (paibon, kamulan), dadia, dan pedharman
b. Berdasarkan atas Karakterisasinya:
1. Pura Kahyangan Jagat, yaitu Pura tempat memuja Sang Hyang Widhi dalam segala Prabhawa-Nya misalnya Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat yang lain.
2. Pura Kahyangan Desa (Teritorial) yaitu Pura yang disungsung (dipuja dan dipelihara) oleh Desa Adat.
3. Pura Swagina (Pura Fungsional) yaitu Pura yang Penyungsungnya terikat oleh ikatan Swagina (kekaryaan) yang mempunyai profesi sama dalam mata pencaharian seperti : Pura Subak, Melanting dan sebagainya .
4. Pura Kawitan, yaitu Pura yang penyungsungnya ditcntukan oleb ikatan "wit"atau leluhur berdasarkan garis (vertikal geneologis) seperti: Sanggah, Merajan, Pura lbu, Pura Panti, Pura Dadia, Pura Padharman dan yang sejenisnya.
Pengelompokan pura di atas jelas berdasarkan Sraddha atau Tatwa Agama Hindu yang berpokok pangkal konsepsi Ketuhanan Yang Maha Esa dengan berbagai manifestasi atau Prabhawanya dan konsepsi Atman manunggal dengan Brahman (Atma Siddha Dewata ) menyebabkan pemujaan pada roh suci leluhur, oleh karena itu pura di Bali ada yang disungsung oleh seluruh lapisan masyarakat disamping ada pula yang disungsung oleh keluarga atau Klen tertentu saja.
3. Tata Upacāra Membangun Pura
a. Upacāra Ngeruwak Karang atau Upacāra Pamungkah.
Upacāra ini dilaksankan sebagai Upacāra awal dalam persiapan membangun
sebuah Pura, yakni merubah status tanah; yang sebelumnya mungkin
adalah hutan, sawah, ataupun ladang. Jenis Upacāra ini dilaksanakan
secara insidentil bukan bersifat rutinitas, tetapi Upacāra ini
dilaksanakan berkaitan dengan adanya pembanguan baru ataupun pemugaran
pura secara menyeluruh sehingga nampaknya seperti membangun sepelebahan
pura baru.
b. Upacāra Nyukat Karang.
Upacāra
ini dilaksanakan dengan maksud mengukur secara pasti tata letak
bangunan pelinggih yang akan didirikan, dan luas masing-masing mandala
(palemahan) pura, sehingga tercipta sebuah tatanan pura yang seusai
dengan aturan yang termuat baik dalam Asta Kosala-Kosali, maupun Asta
Bumi.
c. Upacāra Nasarin.
Upacāra ini adalah Upacāra peletakan batu pertama, yang didahului
dengan Upacāra permakluman kepada Ibu Pertiwi, dengan mempersembahkan
Upakāra sesayut Pertiwi, pejati, dan Upakāra lainnya. Pada Upacāra ini
ditanam sebuah bata merah yang telah dirajah dengan Padma angalayang
dangan aksaranya Dasaksara dan Bedawannala yang bertuliskan Angkara,
dibukus dengan kain merah dan diisi kuangen. Sebuah batu bulitan yang
dirajah dengan aksara Ang-Ung- Mang. Lalu dibungkus kain hitam dan diisi
sebuah kuangen. Dan sebuah klungah kelapa gading ditulisi dengan
aksara Omkara Gni, dibungkus dengan kain putih dan diisi kuangen.
d. Upacāra Memakuh,
Melaspas Upacāra ini bertujuan untuk membersihkan semua pelinggih dari
kotoran tangan undagi (para pekerja bangunan) agar para Dewa/ Bhatara/
Bhatari berkenan melinggih di pura ini setiap saat terutama pada saat
dilangsungkan Upacāra pujawali, sedangkan untuk membersihkan/
mensucikan areal pura secara niskala dilaksanakan Upacāra pecaruan
berupa Panyudha Bumi. Pelaksanaan pemelaspasan yang menyangkut
tingkatannya, dengan memperhatikan kedudukan dan fungsi Pura
masing-masing, maka akan ditentukan atas/ berdasarkan petunjuk para
Sulinggih yang dikaitkan dengan adat setempat yang telah berlangsung
sejak dahulu dengan asumsi pelaksanaan Upacāra akan menjadi lebih
sempurna.
e. Upacāra Mendem Pedagingan.
Setelah Upacāra pemelaspasan dan Sudha Bumi akan dilaksanakan Upacāra
Mendem Pedagingan, sebagai lambang singgasana Hyang Widhi yang
disthanakan. Bentuk serta jenis pedagingan antara satu Pelinggih dengan
Pelinggih yang lainnya tidak sama - hal ini tergantung dari jenis
bangunan Pelinggih yang bersangkutan, termasuk jenis bebantennyapun
juga ada yang berbeda.
Tata cara membuat dan memendem
pedagingan ini disamping mengikuti sastra agama, juga mengikuti isi
Bhisama dari Mpu Kuturan, sebagaimana dilaksanakan ketika membangun
Meru di Besakih.
Adapun cuplikan Bhisama dimaksud
adalah sebagai berikut : "Yan meru tumpang 11, tumpang 9, tumpang 7,
tumpang 5, sami wenang mepadagingan tur mangda memargi manista, madya,
utama, lwir, yaning meru tumpang 11, pedagingannya ring dasar salwiring
prabot manusa genep mewadah kwali waja. Sejawaning prabot manusa,
maweweh antuk ayam mas, ayam selaka, bebek mas, slaka, kacang mas,
slaka tumpeng mas, slaka, naga mas, slaka, mamata mirah, prihpih mas,
slaka, tembaga miwah jarum mas, slaka, tembaga, padi mas, ika dados
dasar. Tumpang meru ika wilang akeh ipun, sami medaging prihpih kadi
ajeng, saha mawadah rerapetan sane mawarna putih, mwah wangi-wangian
setegepe, mawastra putih, rantasan sapradeg. Ring madyaning tumpang
merune, madaging prihpih, jarum kadi ajeng, miwah padhi musah 2,
wangi-wangian setegepe. Ring puncaknya, taler prihpih mas, slaka miwah
jarum kadi ajeng, tur maweweh mas 1, masoca mirah, murda wenang.
Asampunika kandaning meru tumpang 11, pedaginganipun, yaning buat jinah
punika manista madya utama, utama jinah papendemane 11 tali, madya 8
tali, nista 4 tali.
Malih pedagingan padmasana ring dasar
pedaginganipun, Bhadawangnala mas, slaka mwah prabot manusa genep,
wangi-wangian pripih mas, slaka, tembaga, jarum mas, slaka, tembaga,
miwah podhi mirah 2, tumpeng mas, slaka, capung mas, sampian mas,
slaka, nyalian mas, udang mas, getem (ketam) temaga, tanlempas
mewangi-wangian segenepa, mewadah rapetan putih, metali benang catur
warna. Malih pedagingan ring madya, lwire pripih mas, merajah makara,
pripih slaka merajah kulum, pripih tembaga merajah getem, miwah jarum
manut pripih, phodi mirah 2, tan sah wangi-wangian setegepa mewadah
rerapetan putih. Malih korsi mas mewadah lingir sweta, punika ngaran
utama yadnyan nista, madia utama, sluwir-luwir padagingan ika,
kawanganya maprasistha rumuhun. Sampunang pisan mamurug, dawning
linggih Bhatara, yang ande kapurug, kahyangan ika wenang dadi pesayuban
Bhuta pisaca, makadi sang mewangun kahyangan ika, tan memanggih rahayu
terus tumus kateka tekeng putra potrakanya, asapunka kojarnya sami
mangguh lara roga. Malih pedagingan ring luhur luwire, padma mas,
masoca mirah korsi mas, phodi mirah, asapunika padagingannya ring
padmasana"
Untuk cuplikan ini kiranya tidak
perlu dialih bahasakan lagi, karena telah mempergunakan bahasa Bali
lumrah, sehingga telah dapat dimengerti oleh sebagian masyarakat umat
Hindu yang ada di Bali.
f. Ngenteg Linggih.
Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Ngenteg Linggih adalah sebagai rangkaian Upacāra paling akhir dari pelaksanaan Upacāra mendirikan sebuah pura, secara estimologinya ngenteg berarti menetapkan - linggih berarti menobatkan/ menstanakan.
Jadi Ngenteg Linggih adalah Upacāra
penobatan/ menstanakan Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya pada
Pelinggih yang dibangun, sehingga Beliau berkenan kembali setiap saat
terutama manakala dilangsungkan segala kegiatan Upacāra di pura yang
bersangkutan. Mengenai pelaksanaan ngenteg linggih yang dilaksanakan
itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut :
Upacāra ditandai dengan membangun
Sanggar tawang rong tiga, dilengkapi dengan bebanten suci 4 (empat)
soroh dan banten catur, tegen-tegenan, serta Perlengkapan lainnya
berupa sesayut gana, telur, benang, kelapa sebanyak 40 (empat puluh)
butir yang dikemas dalam empat bakul, uang kepeng 52 (lima puluh dua).
Jika di Sanggar tawang menyempatkan tirta, mesti dilengkapi lagi dengan
banten suci sejumlah tirta yang ditempatkan di sana dan reruntutan
lainnya (menurut petunjuk Sulinggih). Pada undakan Sanggar tawang
bebantennya adalah suci samida beserta beras pangopog sebakul berisi
bunga lima jenis, seperangkat peras pagenayan bertumpeng merah, ayam
biing dipanggang, dilengkapi dengan daksina berisi benang merah. Pada
Sanggar tawang memakai lamak 4 (empat) buah pada rong yang ditengah
memakai lamak surya dan lamak candra, lamak segara pada rong selatan,
lamak gunung pada rong paling utara. Pada masing-masing ruangan juga
dilengkapi dengan ujung daun pisang kayu, plawa dilengkapi pajeng,
tetunggul empat warna: putih, kuning, merah dan hitam. Pada bangunan
panggungan perlengkapannya adalah pring kumaligi, beralaskan pane diisi
beras dan uang kepeng 225, benang setukel dan memakai busana lengkap.
Perlengkapan lainnya berupa sesantun beras senyiru, 5 butir kelapa,
telur, benang, uang 5.000,- (lima ribu), jerimpen 5 (lima) tanding,
dijadikan lima nyiru, ini disebut banten paselang.
Banten di bawah panggungan dilengkapi
dengan gayah, sate bebali dan gelar sanga ditambah dengan plegembal.
Di depan lubang yang nantinya digunakan mepulang/ menanam pedagingan,
didepannya digelar baying-bayang (kulit) kerbau hitam, sesajen
selengkapnya dengan bebangkit warna hitam, pulakerti 1, suci 1, pagu
putih ijo cawu guling, cawu renteg, isu-isu, kwangi.
Pada Sanggar tutuwan, bebantennya
adalah banten penebus, dengan perlengkapannya suci putih, bebangkit dan
pula kerti, sedangkan banten penyorohnya adalah dihaturkan kehadapan
manifestasi Hyang Widhi yang berstana di Sapta Patala (nama Pelinggih),
berupa suci 1, bebangkit hitam, guling dan dedaanan, bebanten di natar
pura, berupa caru panca sanak, baying-bayang (kulit) angsa, bebek
belang kalung, anjing belang bungkem, kambing hitam, dilengkapi dengan
suci, bebangkit hitam, pula kerti dan beras serba sepuluh. Setelah
semua Perlengkapan Upacāra ini disiapkan, barulah pemujaan oleh
Sulinggih, kemudian diakhiri dengan persembahyangan bersama.
Catatan: Tingkatan Upakāra dan
Upacāra dari Ngeruwak sampai Ngenteg Linggih pelaksanaannya agar
disesuaikan dengan petunjuk sastra dan petunjuk para Sulinggih yang
menjadi Manggala Upacāra saat Ngenteg Linggih
4. Upacāra Pujawali (Odalan)
Upacāra Pujawali (piodalan) merupakan
salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yadnya, yaitu suatu korban suci
yang dilakukan oleh umat Hindu ditujukan kehadapan Ida Hyang Widhi dan
Para Dewa sekalian.
Bagi umat Hindu (etnis Bali)
khususnya, korban itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu
bentuk persembahan ini sesungguhnya merupakan suatu wujud nyata
ungkapan rasa terima kasih yang tulus ikhlas kepada Sang Hyang Widhi,
terutapa meyakinkan getaran-getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan
kita sebagai manusia amat tergantung daripada-Nya.
Ungkapan rasa terima kasih kita
kepada Hyang Widhi yang kemudian melandasi umat Hindu dalam
melaksanakan Yadnya (korban suci) itu dan sesungguhnya telah mengikuti
petunjuk-petunjuk Bhagawadgita (salah satu buku suci), utamanya bab II
sloka 12 - 13 berbunyi sebagai berikut :
"istam bhogam hi vo dava dasyate
Yajnabhawitah tuir dattan aprodayani'bhyo Yo bhumkte stana eva sah" -
Dipelihara oleh Yadnya, para dewa akan memberi kamu kesenangan yang kau
inginkan, Ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan
balasan kepada-Nya adalah pencuri.
"Yajnasistasinah santo mueyanto
sarvakilbisaih bhunyate teti agham papa ya pacanty atmakaranat" -
Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari Yadnya, mereka
itu terlepas dari segala dosa, akan tetapi mereka yang jahat yang
menyediakan makan bagi kepentingan sendiri adalah makan dosanya
sendiri.
Dengan demikian sudah amat wajarlah
setiap orang yang mengakui Kemahakuasaan Tuhan, akan berusaha berbuat
segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk
melaksanakan Yadnya kepada-Nya.
Namun apa yang paling penting dalam
melaksanakan Yadnya itu adalah adanya rasa yang tulus ikhlas yang
terlahir dari lubuk hati yang paling dalam (suci - bersih), bukan
didasarkan atas besar kecilnya yadnya yang dilaksanakan. Kutipan
berikutnya menyatakan betapa sederhananya yadnya itu boleh dilaksanakan
:
"Patram puspam phlam toyam yo me
bhaktya prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah" -
Siapapun dengan kesujudan mempersembahkan kepada Ku daun, bunga,
buah-buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar
dari hati yang suci, Aku terima. (Bhagawadgita, III. 28)
Memperhatikan beberapa petunjuk di
atas, maka para penyungsung Pura dan umat bertekad melaksanakan dan
mensukseskan Upacāra Pujawali (piodalan) sesuai subadewasa, dengan
segala ketulusan hati yang paling suci bersih. Secara umum rangkaian
sebuah Pujawali / Pidodalan dengan rangkaian Upacāra sebagai berikut :
a. Upacāra Nuasin Karya (Matur Piuning Persiapan Pujawali)
1. Setelah semua banten munggah di pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala, Prayascita, dan Tirtha Pengulapan.
3. Semua Banten dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan:
a. Peasepan
b. Toya Anyar
c. Byakala:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih bagian bawah
d) Prayascitta:
a) Pengeresikan
b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Gading – Lis Senjata
d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas
e) Pengulapan:
a). Pengeresikan
b).Tirtha – Padma
c). Bungkak Bulan – Lis
d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas.
Catatan:
Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
Semua kegiatan a – e dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini.
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang bersama dan keramaning sembah
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
2. Nunas Tirtha Wangsuhpada
3. Puja parama santih
b. Upacāra Ngingsah (Taman Sari/ Beji)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya
(Matur Piuning Persiapan Pujawali) Pinandita memohon Tirtha 5 (Lima)
Jenis dari Taman Sari atau Beji
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas), Rantasan Putih Kuning, dan Bahan-bahan Upacāra diiring ke Beji oleh Serati banten
2. Prosesi Ngingsah beras catur warna dimulai diawali pemercikan 5 jenis Tirtha, kemudian Nyeruh beras, nampinin beras, kemudian ngingsah dengan Sibuh Pepek, Kuskusan Sudamala, tempat beras: a. Beras b. Beras Mereah c. Beras kuning (Ketan) d. Beras Hitam (Injin) e. Kacang-kacangan (Bija ratus)
3. Tirtha ngingsah dipercikkan ke umat
4. Daksina Taksu Tapeni dan bahan-bahan Upakāra dan beras yang telah diingsah di iring ke Madya Mandala (Sanggar Tapeni)
c. Upacāra Ngereka Beras Catur (Sanggar Tapeni)-
Bersamaan dengan Upacāra Nuasin Karya
(Matur Piuning Persiapan Pujawali) 1. Daksina Taksu (Daksina Mepayas),
Rantasan Putih Kuning dilinggihkan di Sanggar Tapeni 2. Suci alit,
Pejati, Sesayut Bagia Setata, Bahan – bahan upakāra 1 tempeh,
dibawahnya 3. Dua tempeh sukla 2, kain putih -/+ @ 0.5 mtr, Kuangen
PengErekan 11x 2, uang kepeng 108 x 2, beras yang sudah diingsah, cili
lanang-istri @ 1 buah, soda 2, canang lenga wangi 2 burat wangi 2,
canang pengeraos 2, canang sari 2 4. Beras direka menyerupai manusia
laki dan perempuan (yang laki-laki oleh ditanding oleh Pria, dan yang
perempuan ditanding oleh Wanita) 5. Muspa ke hadapan Bhagawan
Wiswakarma dan Bhatari Tapeni, memohon agar pelaksanaan Rangkaian
Upacāra pujawali berjalan dengan lancar, aman, tidak ada yang
bertengkar/berselisih faham dan semuanya bergembira, serta agar tidak
boros 6. Dilanjutkan dengan memercikkan tirtha Pengarksa Karya dan
Tirtha Panginih-inih 7. Dilanjutkan dengan membuat adonan tepung untuk
samuhan catur, suci, pebangkit, pulagembal, dan jerimpen sumbu.
d. Upakāra Nunas Tirtha Ke Pura Lain
1. Setelah semua banten munggah di
pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih
disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih
bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih
bagian atas e. Pengulapan: a). Pengeresikan b).Tirtha – Padma c).
Bungkak Bulan – Lis d). Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian
atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik -
Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur
Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA),
Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar-, Bale untuk Nedunang - Pemedal
Agung- Pelinggih Maya – Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale
Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala
Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. Jika tidak ada
kegiatan nunas tirtha ke Pura lain, maka upacara ini tidak dilaksanakan
1. Umat diperciki tirtha Prayascita, dilanjutkan dengan sembahyang
bersama dan keramaning sembah 2. Nunas Tirtha Wangsuhpada 3. Puja
parama santih 4. Petugas nunas Tirtha dibagikan Bumbung dan Banten.
e. Upacāra Pecaruan
1. Setelah semua banten munggah di
pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci,
tabuh lelambatan 2. Pandita/ Pinandita memohon Tirtha Pabersihan,
Pelukatan, Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten
dan Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar
c. Byakala: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala
diayabkan ke pelinggih bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita
diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b)
Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke
pelinggih bagian atas f. Lis Gde, Sibuh pepek, dan Tirtha dari Ida
pedanda Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale Papelik -
Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur
Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA),
Bumbung Tirtha, lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni-
Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Caru, Bale untuk Nedunang -
Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang-
Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama
Mandala Dibutuhkan 15 orang pengayah untuk prosesi ini. 4.
Pandita/Pinandita mapuja ke Surya (Upasaksi) 5. Pandita / Pinandita
Ngundang Bhūta, diikuti kidung Bhūta Yajña 6. Pemercikan Tirtha
Pecaruan (Byakala, Prayascita,dan Tirtha Caru) dimulai dari arah
Timur-Tenggara-Selatan - Barat Daya- Barat- Utara- Tengah. 7. Pandita /
Pinandita Ngayabang Caru dibantu oleh umat (7 Orang) 8. Pandita /
Pinandita Ngelukat Bhūta dibantu oleh Pinandita 9. Pralina Bhūta 10.
Nyarub Caru, dengan urut-urutan: Tirtha Caru, Nasi Caru, Sampat, Tulud,
Kulkul, dilaksanakan memutar berlawanan dengan arah jarum jam
(prasawya) sebanyak 3 x diikuti Gong Bleganjur 11. Kemudian Pandita /
Pinandita Mepuja dalam rangka Nedunang.
f. Upacāra Nedunang di Pañca Desa
Telajakan Wastra Putih dari
Padmasana sampai Candi Bentar di atasnya berisi Canang Cari. Di
Panggungan: Suci Laksana, Daksina Gede, Pejati. Di bawah panggungan:
Segehan Agung, Arak-Berem-Tuak. Perlengkapan lainnya: Peasepan,
Kober, Lontek, Tumbak, Mamas, Penuntun, Sesayut Penuntun Dewa, Sesayut
Pemapag, Sesayut Pengiring, Segehan Agung, Cane, Tempat Tirtha,
Rantasan, Daksina Pralingga, Tedung, Gong Bleganjur. Banten Arepan ;
Peras, Daksina, Segehan, Tirtha Panedunan dari Ida Pedanda 1. Setelah
Semua Uperengga di atas berada di Pangungan, pinandita mulai ngastawa,
diiringi dengan kidung dan Gong Bleganjur a. Ngemargian Tirtha
Penedunan b. Nagturang banten ring Pangungan Catatan: Semua prosesi di
atas dimulai dari Pralingga Padmasana, Taman Sari, Pangemit Tirtha,
Anglurah. c. Masegeh Agung oleh pinandita d. Tedun dari panggungan
dengan melewati Panggungan dengan urut-urutan dari depan: Peasepan
Penuntunan Mamas Umbul-umbul Banten pemagpag
Banten Penuntun dewa Banten
Pangiring Cane Rantasan Tempat Tirtha Daksina Pralingga
Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana,
Taman Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga
Anglurah: Sekeha Santi, Bleganjur, umat • Point d butuh tenaga: 26
orang
g. Upacāra Medatengan di Depan Candi Bentar Pejati
1, Pangulapan, Datengan, Canang
Pangrawos, Masing-masing Daksina Pralingga; Soda Pemendak, Pependetan
dan atau bebarisan 1. Pinandita mepuja ngaturang banten datengan 2.
Tarian papendetan 3. Memargi ke Utama Mandala menuju Bale papelik 4.
Bleganjur sampai di depan Kori Agung
h. Banten Mesandekan Ring Bale Papelik Pejati
1, Masing-Masing Daksina Pralingga:
banten Rayunan (Hidangan nasi, lauk, sayur, minuman menjadi 1 tempat),
di bawah: Segehan Cacahan. Setelah selesai mesandekan menuju Taman Sari
Untuk Mesucian
i. Upacāra Masucian Ring Beji (Pancoran)
Suci Alit, Pejati, Ayaban Tumpeng
Lima, Eteh-eteh Pasucian (sisir, cermin, minyak wangi, bedak),
Masing-Masing Daksina Pralingga; Canang Lenga Wangi, Canang Burat
Wangi, Wastra (kain, handuk, sabuk Stagen), Segehan Cacahan. 1.
Pinandita mulai ngaturang banten bersamaan ketika Ida Bhatara
Medatengan 2. Daksina Pralingga mulai dari Padmasana samapi Anglurah
dihaturi: a. Toya Anyar b. Sabun c. Air kumkuman d. Katuran Wastra e.
Sisir f. Bedak g. Minyak Wangi h. Cermin i. Masegeh Cacahan 3.
Persiapan Purwa Daksina
j. Upacāra Mapurwa Daksina
1. Pinandita ngaturang Segehan Agung
di depan Padmasana, Petabuh Arak-Berem-Tuak. 2. Urut-urutan Purwa
Daksina: Peasepan Penuntunan Mamas Umbul-umbul Banten
pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan
Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Catatan: • Dari Rantasan s/d
Tedung berurutan dari Padmasana, Taman Sari, Pangemeit Tirtha,
Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga Anglurah: Sekeha Santi, umat •
Selesai Purwa Daksina, Ngelinggihan Ke masing-masing pelinggih oleh
Pinandita dibantu Para Sutra
k. Upacāra Pujawali
1. Setelah semua banten munggah di
pelinggih masing-masing. Panditamemulai memuja diiringi Kidung suci,
tabuh lelambatan 2. Panditamemohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan,
Byakala, Pryascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan
Pelinggih disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c.
Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Gading – Lis
Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke pelinggih bagian atas d.
Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Bungkak Bulan – Lis d)
Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih bagian atas e. Tirtha
padudusan dari Pandita f. Tirtha Catur Kumbha dari Pandita g. Lis Gde,
Sibuh pepek, dan Tirtha dari Pandita Catatan: Semua kegiatan a – g
dimulai dari Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah, Bale
Papelik - Bale Pawedaan – Asagan Banten - Pengraksa Karya mulai dari
sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI), Barat Daya (RUDRA), Barat Laut
(KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung, Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur
Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal Agung- Pelinggih Maya –Bale
Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale Ebat – Dapur- Pemedal Banjar-
lalu petugas kembali ke Utama Mandala Dibutuhkan 16 orang pengayah
untuk prosesi ini. 1. Pandita mapuja ngaturang Pujawali 2. Sembahyang
bersama 3. Mejaya-jaya 4. Nunas tirtha 5. Dharma Wacana 6. Puja Parama
Santih
l. Upakāra Ngayarin:
A. Pagi Hari: (pk. 09.00) 1. Sanggar
Agung, Padamasana, Taman Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale
Papelik, Panggungan, Tapeni, Penunggu Karang: Masing-masing, Pejati,
Kopi /Teh, kue, di bawah Pelinggih: Segehan seperti biasa 2. Pelinggih
yang lainnya: masing-masing: Soda. 3. Arepan Memuja: Pejati dan Segehan
Cacahan B. Siang Hari: (pk. 12.00) 1. Sanggar Agung, Padamasana, Taman
Sari, Pengempon Tirtha, Anglurah, Bale Papelik, Panggungan, Tapeni,
Penunggu Karang: Masing-masing, Rayunan , di 2. Pelinggih yang lainnya
masing-masing: Rayunan Alit 3. Arepan Memuja: Soda Catatan: Upacara
Nganyarin dilaksanakan jika pujawali / piodalannya nyejer, selama nyejer
dilaksanakan persembahan banten Nganyarin dan umat sembahyang. Jika
pujawali /piodalan tidak nyejer maka upacara ini ditiadakan
m. Upacāra Penyineban
1. Pinandita ngaturang Banten
Panyineban 2. Sembahyang Bersama 3. Nunas Tirtha 4. Nedunang Daksina
Pralingga dari masing-masing Pelinggih 5. Urut-urutan Nyineb a. Purwa
Daksina: Peasepan Penuntunan Mamas Umbul-umbul Banten
pemagpag Banten Penuntun dewa Banten Pangiring Cane Rantasan
Tempat Tirtha Daksina Pralingga Tedung Salaran Tegen-tegenan
Catatan: • Dari Rantasan s/d Tedung berurutan dari Padmasana, Taman
Sari, Pangemeit Tirtha, Anglurah. • Di belakang Daksina Pralingga
Anglurah: Sekeha Santi, umat 6. Selesai Purwa Daksina, Mesandekan di
Asagan 7. Pinandita ngaturang Banten Pangeluhur 8. Pinandita Ngaturang
Segehan Agung 9. Tirtha Pralina untuk Daksina Pralingga 10. Banten
Tetingkeb 11. Ngelukar Dakasina Pralingga 12. Puja Parama Santih 13. Meprani
n. Upacāra Ngelemekin
1. Setelah semua banten munggah di
pelinggih masing-masing. Pinandita memulai memuja diiringi Kidung suci
2. Pinanandita memohon Tirtha Pabersihan, Pelukatan, Byakala,
Prayascita, dan Tirtha Pengulapan. 3. Semua Banten dan Pelinggih
disucikan dengan urut-urutan: a. Peasepan b. Toya Anyar c. Byakala: a)
Pengeresikan b) Tirtha – Padma c) Banten Byakala diayabkan ke pelinggih
bagian bawah d. Prayascitta: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma c)
Bungkak Gading – Lis Senjata d) Banten Prayascita diayabkan ke
pelinggih bagian atas e. Pengulapan: a) Pengeresikan b) Tirtha – Padma
c) Bungkak Bulan – Lis d) Banten Pengulapan diayabkan ke pelinggih
bagian atas Catatan: Semua kegiatan a – e dimulai dari
Padmasana-TamanSari-Pengempon Tirtha- Beji- Anglurah -Bale Pawedaan -
Pengraksa Karya mulai dari sudut Timur Laut (SHRI), Tenggara (AJI),
Barat Daya (RUDRA), Barat Laut (KALA), lalu diteruskan ke Candi Agung,
Ganesha-Sanggar Tapeni- Dapur Suci - Bale Kulkul –Candi Bentar- Pemedal
Agung- Pelinggih Maya –Bale Banjar- Bale Gong- Penunggu Karang- Bale
Ebat – Dapur- Pemedal Banjar- lalu petugas kembali ke Utama Mandala
Dibutuhkan 13 orang pengayah untuk prosesi ini. 4. Mralina Daksina
Pralingga Dewi Tapeni 5. Mralina Lingga Bhagawan Wiswakarma 6.
Ngaturang Suyuk 7. Umat diperciki tirtha Prayascita, 8. Sembahyang
bersama dan Keramaning sembah 9. Nunas Tirtha Wangsuhpada 10. Ngaturang
Guru Dakasina kepada: Pinandita, Serati Banten, Panitia, Banjar 11.
Puja parama santih 12. Asah-Asih-Asuh
o. Penutup
Demikianlah pengertian, pengelompokan
dan tata cara mendirikan sebuah pura yang dapat diketengahkan pada
kesempatan ini. Dari uraian ini akan timbul pertanyaan; Mampukah umat
Hindu memenuhi petunjuk sastra Bhisama, Raja Purana, serta mampukah
melaksanakannya ? Untuk menjawab pertanyaan diatas, bukan tugas
Penulis, bukan pula tugas Panitia sebagai Yajamana tetapi tugas Umat
Hindu sekalian terutama generasi sekarang dan masa mendatang. Tetapi
penulis yakin, apabila memang dilandasi dengan pikiran tulus dan suci
tidak ada yang tidak dapat kita lakukan, lebih-lebih demi kepentingan
yang lebih besar dan untuk kerahayuan jagat. Demikian Kesimpulan akhir
tulisan ini yang sudah tentu masih banyak kekurangannya, namun ada
baiknya untuk bahan renungan dalam usaha ngastiti kerahayuan kita
bersama - Moksartham Jagadhita.
"Om Santih Santih Santih Om".
Sumber : I Wayan Sudarma (Shri Danu D. P)
dewagederama.blogspot.com
dewagederama.blogspot.com