DEWA GEDE RAMAYADI

Menu
  • Home
  • SEJARAH
    • MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SILSILAH
  • SEMETON MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SEMETON SATRIA TAMANBALI BANGLI NYALIAN
    • SEMETON SATRIA TAMAN BALI
    • SEMETON TITIANG SATRIA TAMAN BALI RING TAMBAHAN
      • SILSILAH TAMBAHAN
  • TUNTUNAN AGAMA HINDU
    • Doa - Doa Hindu
      • Doa - Doa Hindu
      • Kidung - Kidung
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Upacara Sudhhi Wadani
    • Rahina Saraswati
    • Rahina Pagerwesi
    • Rahina Galungan - Kuningan
    • Rahina Tumpek Landep
    • Banten Pejati
    • Kidung - Kidung
    • Rentetan Hari Raya GALUNGAN DAN KUNINGAN
  • BOOKS
    • Analisis Kebijakan Publik
      • Analisa Kebijakan Publik
      • Dewa Gede Ramayadi
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Analisa Kebijakan Organisasi
    • Analisa Kebijakan Publik
    • Analisa Kebijakan Pariwisata
  • BUDAYA
    • BUDAYA BALI
    • BUDAYA INDONESIA
    • BUDAYA MANCANEGARA
  • BABAD TIRTA HARUM
  • PAKET TOUR OBJEK WISATA BALI
    • PAKET TOUR KELUARGA
    • Obyek Wisata Bali
    • PAKET TOUR 3H2M
    • TOUR BALI
    • BALI
    • LIBURAN DI BALI
    • BALI
    • CHANNEL YOUTUBE
    • HOTEL

Saturday, September 9, 2017

SIWA RATRI DALAM KONSEP LUBDAKA KEKINIAN DI ZAMAN SERBA INSTANT

September 09, 2017 No comments


Oleh. Dewa Gede Ramayadi

Om Swastyastu,

Brata Siwaratri mengandung makna mendalam sebagai bahan renungan diri dan sebagai praktek religius tentu tidak cukup  hanya diwacanakan, melainkan perlu menyelami dan mempraktekannya. Tanpa hal itu kita tidak akan menemukan makna yang terkandung di dalamnya. Seperti pemain bola tidak cukup hanya mengetahui teori bagaimana teknik bermain bola melainkan perlu memainkannya di lapangan. Siwaratri berasal dari bahasa sansekerta, terdiri dari urat kata siwa dan ratri. Siwa artinya baik hati, suka memaafkan, memberikan harapan dan membahagiakan. Ratri artinya malam  atau kegelapan. jadi Siwaratri artinya malam untuk melebur kegelapan hati menuju jalan yang terang.

 Hakekat  perayaan Siwaratri adalah untuk menyadari akan keberadaan sang diri yang sejati, sebagai wahana mawas diri agar senantiasa waspada dalam menjalani lika-liku kehidupan. Oleh karena itu sungguh disayang jika perayaan ini dilewatkan begitu saja. Siwaratri yang dirayakan setiap tahun, tepatnya pada purwaning tilem kepitu merupakan hari suci yang dirayakan oleh umat Hindu seluruh Indonesia begitupun juga di India.

            Acuan perayaan Siwaratri terdapat pada naskah-naskah suci berbahasa Sanskerta di India yaitu: Sivapurana, Garudapurana, Skandapurana, dan Padmapurana. Pada Padmapurana menguraikan tentang keagungan Brata Siwaratri yaitu brata yang paling utama diantara semua brata, bagaikan Meru diantara pegunungan, bagaikan matahari diantara semua yang menyala, bagaikan pertapa diantara mahluk mahluk yang berkaki dua, bagaikan Kapila diantara mahluk mahluk yang berkaki empat, bagaikan Gayatri diantara semua Mantram, bagaikan amreta diantara yang cair, bagaikan Wisnu dari semua pria, bagaikan Arundatai diantara para wanita (padma purana 239.7-9a).

Sedangkan di Indonesia Siwaratri ditulis dalam lontar berbahasa Jawa kuno seperti Siwaratri kalpa karangan Mpu Tanakung yang menceritakan kisah seorang pemburu  bernama Ludhaka  mendapatkan anugrah dari Dewa Siwa  sehingga mencapai Siwaloka (Sorga). Berkenaan dengan perayaan Siwaratri ada tiga brata yang dapat dilaksanakan yaitu monobrata (tidak bicara selama 12 jam), upawasa (berpuasa selama 24 jam), jagra (melek atau tidak tidur selama 36 jam), mulai pukul 06.00 pangglong ping 1 sampai pukul 18.00 tilem sasih kapitu.

Hari Siwaratri yang jatuh pada Purwaning Tilem Kapitu, Kamis tanggal 26 Januari 2017
ini, merupakan momen yang sangat tepat untuk merenung dan mengendalikan diri.
Pada hari suci penuh pengampunan, umat Hindu diajak untuk bisa mengekang
hawa nafsu dan keinginan yang bersifat duniawi. Nilai-nilai apa yang bisa
dipetik dari malam Siwaratri dalam konteks kekinian?
Kemudian, apakah figur si pemburu Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri masih relevan dengan kehidupan sekarang? 
Hidup manusia sebenarnya dibelenggu oleh bhuta kala. Dalam usaha melepas belenggu bhuta kala itu, manusia hendaknya berusaha mendapatkan keseimbangan jasmani dan rohani yang bisa dicapai secara perlahan-lahan dan bertahap. Tidak dimungkiri banyak hambatan yang menghadang ketika manusia ingin mencapai keseimbangan itu. Hambatan itu datangnya tidak
hanya dari luar, tetapi juga dari dalam diri manusia itu sendiri perhatikan pupuh dibwh ini.

RAGADI MUSUH MAPARO,
RING HATI YA TUNGGUWANNYA TAN MADOH RING DEWEK
Hawa nafsu, ego adalah musuh yang sangat dekat
Didalam hati letaknya tak jauh dari dalam diri kita sendiri

Siwaratri pada hakikatnya merupakan sebuah ajaran untuk membangkitkan perjuangan umat Hindu untuk selalu sadar akan dirinya yang selalu diancam oleh berbagai hambatan. Upacara Siwaratri bertujuan memberikan pengetahuan kepada manusia agar menyadari bahwa dalam dirinya selalu ada pertarungan antara kebaikan dan keburukan. Oleh karena itu, sebaik-baiknya
manusia, pasti pernah berbuat dosa selama hidupnya. Demikian pula sejelek-jeleknya manusia, pasti pernah berbuat baik selama hidupnya. Hanya saja sejauh mana diri kita mampu untuk mengambil hikmah dari proses ini.

Menyadari hal itu, Siwaratri dimaksudkan untuk memberikan motivasi kepada setiap umat Hindu untuk selalu sadar dan berusaha semaksimal mungkin menghindari perbuatan dosa dan selalu berikhtiar untuk memperbanyak perbuatan dharma. Meskipun manusia sulit menghindari perbuatan dosa, bagaimana pun besarnya perbuatan dosa yang telah diperbuatnya, tidak tertutup jalan untuk menuju dharma. Dlm artian jangan ada kalimat kepalang aaaaaahh…….hehehehehe  (itu jangan amit amit amit)

Siwaratri memotivasi manusia untuk tidak berputus asa kembali ke jalan dharma. Pintu dharma selalu terbuka lebar bagi orang yang sadar akan segala perbuatan dosanya. Cerita Lubdaka, si pemburu yang pekerjaan sehari-harinya berburu binatang, sebagai salah satu contoh. Tetapi, masih relevankah figur Lubdaka yang diceritakan pada malam Siwaratri dengan kehidupan sekarang? 

Dari kalangan para peminat spiritual, cerita Lubdaka itu diterjemahkan sebagai berikut :

Jika seseorang sudah mampu membunuh sifat kebinatangannya, maka timbullah rasa ingin dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Rasa keinginan atau hasrat (kerinduan) itu diwujudkan dengan berbagai cara (berjapa / mengulang-ngulang nama suci Tuhan), beryajna dansebagainya.

Banyak kalangan yang kurang setuju, jikalau malam Siwaratri sebagai malam penebusan dosa. Karena kepercayaan Hindu, hukum karma itu tidak pandang bulu. Meskipun orang suci, jika berbuat salah tetap akan mendapat hukuman. Reaksi dari perbuatan itu sulit untuk dihapus, maka dari itu ada beberapa pakar yang menyatakan tidak setuju jika malam Siwaratri diistilahkan sebagai malam peleburan dosa.
Melaksanakan monobrataberarti  tidak berbicara, banyak pula umat Hindu memaknai dengan penafsiran yang berbeda-beda, ada yang melakukan monobrata  memaknai bahwa betapa sulitnya menjadi orang yang tuna wicara (bisu) mereka tidak bisa mengepresikan dirinya layaknya seperti orang normal, ketika memaknai seperti hal tersebut, maka akan menimbulkan rasa syukur atas anugrah yang diberikan oleh Tuhan kepadanya, bahwa dirinya masih dikaruniai panca indra yang sempurna. Selanjutnya ada pula yang memaknai monobrata adalah bentuk pengendalian kata-kata secara eksternal karena menurut para guru suci mengucapkan kata-kata yang tidak penting hanya membuang-buang energi, bukan berarti kita memutuskan untuk tidak berbicara tetapi berbicaralah bila hal itu penting untuk diwacanakan. lebih baik energi yang tersia-siakan dialihkan untuk menyadari keagungan Tuhan.

Jika dicermati lebih dalam esensi dari monobrata tidak hanya sekedar mendiamkan ucapan secara eksternal tetapi mengalirkan kata-kata secara internal. Apa itu kata-kata secara eksternal dan internal? Kata-kata eksternal yaitu menyangkut ucapan sedangkan kata-kata internal menyangkut pikiran. ketika melaksanakan monobrata ucapan dapat dikendalikan tetapi pikiran masih tetap berkata-kata dalam hati, membicarakan hal-hal yang sia-sia bahkan sampai ribuan kali, sehingga pikiran  ibaratkan burung yang hanya berkicau di dalam sangkarnya namun tidak dapat mengekpresikannya di alam bebas. Maka dari itu monobrata adalah melatih diri untuk melakukan meditasi (dhyana) yaitu mendiamkan ucapan dan mengalirkan gerak pikiran menuju kesadaran Tuhan dalam manisfestasi Sang Hyang Siwa.

Selanjutnya upawasa(puasa) idealnya sering diartikan hanya menahan lapar dan haus. Apakah hanya itu saja? Sebagian umat yang melakukan puasa memaknai sebagai wujud cinta kasih kepada semua mahluk terutama manusia, karena dengan berpuasa apabila dilakoni dengan tulus maka kita diajak untuk merasakan penderitaan orang lain bahwa dirinya dilahirkan adalah orang yang lebih beruntung dari mereka yang membutuhkan uluran tangan. Seseorang akan ikut merasakan bagaimana orang yang menderita kekelaparan karena tidak mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Dari sana akan muncul perasaan untuk menolong orang yang sedang kesusahan. Maka  dari itu untuk menterjemahkan ayat suci Vasudaiwa khutumbhakam (semua adalah saudara) dalam kehidupan sehari-hari dapat terealisasikan.

Selain itu dilihat dari ilmu kedokteran puasa dapat menyehatkan tubuh, karena dengan berpuasa sistem percernaan dalam tubuh tidak bekerja seperti biasa sehingga mengalami rileksasi, seperti mesin apabila tidak pernah diberikan jeda dalam mengelola bahan baku, maka kemungkinan besar akan lebih cepat mengalami kerusakan begitu juga sistem percernaan dalam tubuh. Puasa semestinya dilakukan 24 jam bukan setengah hari, karena ilmiahnya proses makanan yang diolah dari lambung menuju usus kurang lebih 18 jam untuk bisa disuplai keseluruh tubuh dan sisanya dikeluarkan berupa kotoran. Ketika puasa dilakukan sehari penuh maka sistem percernaan mengalami peristirahatan dan pemurnian kembali, inilah alasan mengapa umat Hindu melakukan puasa 24 jam. Selain itu menurut Sri Anandamurti mengatakan ketika orang sering melakukan puasa juga bermanfaat untuk kesehatan mental dan emosi, bahkan dianjurkan menjelang bulan purnama dan bulan mati (tilem) yaitu pada saat ekadasi (hari ke- 11 menjelang Bulan purnama dan tilem), karena saat itu daya gravitasi bulan dapat berpengaruh negatif terhadap mental dan emosi, hal itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Wicca Spirituality di Britania bahwa  puncak kekacauan pikiran terjadi pada saat bulan purnama dan bulan mati. Data yang ditemukan saat itu tingkat kejahatan meningkat mencapai 14 % ,rumah sakit dipenuhi pasien-pasien yang rata-rata penyakitnya disebabkan oleh pengaruh pikiran, kemudian data  kepolisian mencatat tingkat kecelakaan meningkat, hasrat seksual pemuncak dan banyak terjadi kasus pemerkosaan. Mengapa bisa demikian?
Sebab saat bulan purnama dan bulan mati air laut mengalami pasang surut, maka unsur air dalam tubuh manusia ikut meningkat karena tubuh manusia terdiri dari 70 % unsur air, maka dengan puasa akan mampu mengatasi ketegangan fisik, mental dan emosi seperti juga di katakan oleh Prof. I Ketut Widnya dalam sesi dharma tula “ketika lidah dapat dikendalikan maka perut dan alat kelamin pun dapat dikendalikan karena posisi ketiganya sejajar” oleh karena itu betapa pentingnya melakukan puasa untuk mendapatkan ketenangan lahir bhatin.

Selanjutnya yaitu Jagra yang diartikan melek atau tidak tidur selama 36 jam, tentu hal ini dirasakan  sangat sulit untuk dilakukan apalagi cara berfikir sebagian orang masa kini lebih mengedepankan pendekatan ilmiah  dari pada pengetahuan intuitif. Maka pertanyaan pun muncul bukankah begadang yang berlebihan dapat mengganggu kesehatan? Barangkali fakar kesehatan menjawab ia. lain halnya dengan pencari kebenaran sejati maka jagraadalah bentuk pengorbanan diri kepada Tuhan (tapa), mereka rela menahan rasa ngantuk sebagai  curahan bhaktinya kepada Sang Hyang Siwa yang telah memberikan segalanya kepada dunia untuk dinikmati oleh ciptaan_Nya. Mereka merasa bahwa cinta kasih Tuhan tidak dapat dibayar dengan harta yang berlimpah sekalipun. Karena harta maupun kekayaan yang didapatkan  berasal dari Tuhan, maka dari itu dengan melakukan jagramerupakan salah satu jalan untuk meraih kasih-Nya sebagaimana yang disebutkan dalam Siwapurana kisah seorang pemburu kijang yang sangat kejam bernama Rurudruha tanpa sengaja melakukan brata saat Siwaratri mendapatkan berkat dari Dewa Siwa, Beliau menghapuskan segala pikiran jahat dalam pikirannya.  Oleh karena itu pada saat siwaratri adalah moment yang tepat untuk mendapatkan berkat-Nya, sehingga orang yang terberkati oleh Tuhan akan selalu bertindak berdasarkan wiweka dan menuruti hati nuraninya.

Jadi hari suci Siwaratri adalah untuk menyadari bahwa seseorang berada dalam pengaruh kegelapan. Kegelapan itulah yang harus diterangi, baik jiwa, pikiran maupun badan jasmaninya. Kegelapan itu harus disingkirkan dengan ilmu pengetahuan rohani.

Yang paling penting sekali adalah berkat dari Sang Hyang Siwa sendiri. Beliaulah yang akan menghapus kepapaan, ketidak berdayaan melawan hawa nafsunya sendiri. Mungkin ribuan orang akan menyoraki dan mencaci maki seorang penjahat yang mendapat hukuman. Bahkan pula dilempari dengan batu. Namun beliau (Sang Hyang Sada Siwa) menangis melihat umat-Nya dalam kesengsaraan. Beliau tidak membenci malah lebih bersimpati pada mereka yang mengalami nasib buruk seperti itu.

Itulah keutamaan Hyang Siwa, tidak membenci siapapun, walaupun penjahat kelas kakap yang dibenci jutaan manusia. Beliau tetap berbelas kasih. Bersedia mengampuni, asal umat-Nya dengan tulus iklas berserah diri, pasrah total kehadapan-Nya.

Beliau sendiri yang akan mebimbing dan memutuskan keadilan-Nya. Maka sangat
dianjurkan untuk melaksanakan brata Siwaratri ini kepada siapa saja. Karena
pintu tobat dan pengampunan pada hari itu terbuka lebar-lebar.

Ada lagi disebutkan keutamaan brata Siwaratri dalam lontar “Siwaratrikalpa”
buah karya Mpu Tanakung, bahwa jika seseorang mampu melaksanakan laku ;
upawasa, mona brata dan jagra pada hari itu, yang tujuannya memuja Sang Hyang
Sada Siwa, serta memohon pengampunan-Nya maka karmawasananya akan selalu
diperhitungkan oleh sang Surat-atma, kurangi dosa, perbanyaklah bertobat.

Rsi Empu Tanakung juga mengisyaratkan bahwa brata Siwaratri melebihi semua
jenis yajna. Untuk itulah, seseorang jangan berputus asa jika sudah terlanjur
melakukan kesalahan. Karena Siwaratri bisa dilaksanakan dimana saja (di rumah,
di Pura, di tempat sunyi, bahkan di Lembaga Pemasyarakatan / Penjara). Justru
disinilah mungkin ( di Lemaga Pemasyarakatan) brata Siwaratri itu dilaksanakan
lebih khusuk.

SIWA RATRI DALAM KONSEPT KEKINIAN DI ZAMAN SERBA INSTANT  terungkap dalam Lubdaka Kalpa adalah :

Tilem kepitu adalah malam yang tergelap dari malam malam lainnya, karena tiada yang
lebih gelap dari ”SAPTATIMIRA” PETENG PITU”

JAGRA : Mengurangi durasi tidur dengan jalan memperbanyak improvisasi diri dengan mempelejari ilmu - ilmu keagamaan yang kita yakini ”HINDU”

MONOBRATA : Mengurangi pembicaraan yang tidak baik, mempitnah, menipu, gosif, serta berbohong, perbanyak dengan melakukan japa mala.

UPAWASA : mengurangi makan yang berlebihan, serta meyadnyakan dananya untuk disumbangkan kepada oran - orang yang jauh lebih papa dari kita, baik itu berupa makanan, maupun berbentuk dana-dana yang lainya seperti Rumah - sakit, sekolah, serta buku buku agama. Dllnya.

Pemburu Satwa : Mencari tatwa, dengan membunuh sifat himsa karma ( kebinatangannya, dengan meningkatkan sifat sifat satwan dlm triguna sakti ).

Naik Kayu dimalam hari : Munggah kayun dengan statement menghilangkan kegelapan, mulai sejak Siwa linggam dimalam hari, commit untuk selanjutnya harus berubah, karena hari esok
harus lebih baik dari yang sekarang,
itu prinsip


Inggih
suksme pisan niki wantah aturan titiang maring Ide dane pare darmika sinamian,
mogi wenten pikenohnyane.
Titiang
Dewa Gede Ramayadi


Om Shanti Shanti Shanti Om
Namaste.

Read More
Newer Posts Older Posts Home

KSATRIA BRAHMANA WANGSA TREH TIRTA HARUM SATRIA TAMAN BALI "IDEWA TAMBAHAN" di TAMBAHAN KELOD

dewa gede ramayadi
View my complete profile

Recent Posts

Arsip Pencerahan Dumogi Mapikenoh

  • ►  1998 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  August (1)
  • ►  1999 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2000 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2002 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2011 (1)
    • ►  March (1)
  • ►  2012 (6)
    • ►  February (2)
    • ►  May (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (2)
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2014 (3)
    • ►  April (2)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  February (1)
  • ▼  2017 (4)
    • ►  April (2)
    • ►  June (1)
    • ▼  September (1)
      • SIWA RATRI DALAM KONSEP LUBDAKA KEKINIAN DI ZAMAN ...
  • ►  2019 (4)
    • ►  January (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2020 (2)
    • ►  February (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2025 (1)
    • ►  April (1)

Popular Posts

  • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    Om Swastyastu, BABAD LELUHUR  MAHA GOTRA TIRTA HARUM Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing D...
  • LANDASAN DASAR, TATA CARA, PERSIAPAN, MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
    Om Swastyastu, Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah  merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan. salah s...
  • KIDUNG - KIDUNG
    KIDUNG DEWA YADNYA Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang Purwakaning angripta rumning wana ukir. Kahadang labuh. Ka...

Categories

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA
  • HARI RAYA SIWARATRI
  • LANDASAN DASAR
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
  • PANCA SRADHA
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI)
  • PERSIAPAN
  • SEJARAH AGAMA HINDU
  • TATA CARA

Report Abuse

Followers

Search This Blog

Link list 3

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA (1)
  • HARI RAYA SIWARATRI (1)
  • LANDASAN DASAR (1)
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU (1)
  • PANCA SRADHA (1)
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI) (1)
  • PERSIAPAN (1)
  • SEJARAH AGAMA HINDU (1)
  • TATA CARA (1)

Dumogi Rahayu Semeton Titiang Sareng Sami

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Copyright © DEWA GEDE RAMAYADI