DEWA GEDE RAMAYADI

Menu
  • Home
  • SEJARAH
    • MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SILSILAH
  • SEMETON MAHAGOTRA TIRTA HARUM
    • SEMETON SATRIA TAMANBALI BANGLI NYALIAN
    • SEMETON SATRIA TAMAN BALI
    • SEMETON TITIANG SATRIA TAMAN BALI RING TAMBAHAN
      • SILSILAH TAMBAHAN
  • TUNTUNAN AGAMA HINDU
    • Doa - Doa Hindu
      • Doa - Doa Hindu
      • Kidung - Kidung
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Upacara Sudhhi Wadani
    • Rahina Saraswati
    • Rahina Pagerwesi
    • Rahina Galungan - Kuningan
    • Rahina Tumpek Landep
    • Banten Pejati
    • Kidung - Kidung
    • Rentetan Hari Raya GALUNGAN DAN KUNINGAN
  • BOOKS
    • Analisis Kebijakan Publik
      • Analisa Kebijakan Publik
      • Dewa Gede Ramayadi
      • Dewa Gede Ramayadi
    • Analisa Kebijakan Organisasi
    • Analisa Kebijakan Publik
    • Analisa Kebijakan Pariwisata
  • BUDAYA
    • BUDAYA BALI
    • BUDAYA INDONESIA
    • BUDAYA MANCANEGARA
  • BABAD TIRTA HARUM
  • PAKET TOUR OBJEK WISATA BALI
    • PAKET TOUR KELUARGA
    • Obyek Wisata Bali
    • PAKET TOUR 3H2M
    • TOUR BALI
    • BALI
    • LIBURAN DI BALI
    • BALI
    • CHANNEL YOUTUBE
    • HOTEL

Tuesday, July 10, 2012

HARI RAYA PAGERWESI

July 10, 2012 No comments
Hari Raya Pagerwesi
Kata “pagerwesi” artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang Pramesti Guru.
Sanghyang Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi ngawur.
Hari Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
“Budha Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh.”
Artinya:
Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Hakikat pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.
Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang paling utama bagi para Purohita adalah “Sesayut Panca Lingga” sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita) namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan. Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Makna Filosofi
Sebagaimana telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.
Mengadakan yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati, memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan “pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk “ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh.”
Ngawerdhiaken artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan. Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
Krsi yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya, artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam, artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki dharma.
Kehidupan tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh. Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.
Mengembangkan pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia) manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.
Penjelasan Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman. Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar ngarga, mapasang lingga.
Ngarga adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat. Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka. Kata “pageh” artinya “pagar” atau “teguh” sedangkan “urip” artinya “hidup”. “Pageh urip” artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata “sesayut” berasal dari bahasa Jawa dari kata “ayu” artinya selamat atau sejahtera.
Natab Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius. Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.
Di India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa. Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha gurunya alam semesta.
Sampai saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi, seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat Hindu di Indonesia.
(Sumber: Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
http://www.parisada.org/
Read More

TUMPEK LANDEP

July 10, 2012 No comments
OM SWASTIASTU. OM AWIGNAMASTU.

Tumpek Landep dan Pengertiannya

Tumpek = Asal dari kata Tumampek, mendekatkan diri kepada sang Maha Pencipta dengan jalan mensyukuri segala ciptaannya baik secara langsung maupun tidak langsung kita nikmati sehingga sudah sewajarnyalah kita mensyukurinya kepada sang pemberi nikmat.

Syclus kedatangannya
Tiada lain adalah sebagai apa yang digariskan oleh arti Tumpek itu sendiri yaitu:
TU = metu dan Pek = berakhir Jadi Tumpek berarti merupakan Awal dan juga akhir. Tumpek sangat erat kaitannya dengan Kalender Hindu di Bali yang merupakn gabungan dari Caka surya pramana dan Chandra Pramana serta Wuku yang kita kenal sebanyak tiga puluh wuku, selain wuku ada juga syclus lain yaitu Saptawara dan Pancawara.

Sehingga antara Sapta wara terakhir Saniscara ketemu dengan Pancawara terakhir ( kliwon ) maka syclus inilah kemudian disebut tumpek, yg datangnya setiap 35 hari 1 X.

Tumpek akan bertemu setiap akhir wuku Saniscara (Sapta wara ) dan akhir Pancawara Kliwon, inilah yang kemudian disebut denga awal dan akhir dalam istilah Hindu disebut Utpeti, Stiti dan Prelina, yang kemudian diambilah Utpeti dan Prelina ( Tum-Pek )

BERMACAM MACAM TUMPEK.

1. Tumpek Landep.

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Pasupati atas ciptaanya, sehingga atas analisys dari manusia menggunakan ketajaman Jnananya sehingga berhasilah mengolah logam logam yang dipergunakan untuk melancarkan usahanya dalam menunjang kehidupan sehari-hari, sehingga lazimnya pada tumpek ini sepertinya di katagorykan sebagai sarwa sanjata-senjatanyapun yang dari Logam, pada hal yang utama bagaimana ketajaman dari Jnanam kita yang di anugrahi oleh sang maha pencipta.

2. Tumpek Wariga.

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Sangkara atas ciptaanya, atas analisys manusia serta usahanya untuk mengolah tumbuh tumbuhan sedemikian rupa, sehingga memberikan makna dan berhasil guna untuk memenuhi kehidupan sehari-hari.

3. Tumpek Kuningan

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Iste dewata atas ciptaanya, sehingga kita sebagai manusia bisa melakukan penghormatan kepada Raje-Dewata dan Dewati atas jasa yang telah diberikan kepada kita, sehingga kita bisa meneruskan cita cita para leluhur semasa hidupnya.

4. Tumpek Klurut.

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Aji Gurnita atas ciptaanya, sehingga atas analisys & usaha manusia bisa menikmati kesenangannya dalam Keindahan dan seni.

5. Tumpek Uye.

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Rare angon atas ciptaanya, sehingga atas analisys dan usaha manusia bisa memanfaatkan jasa-jasa dari hewan / binatang baik yang dinikmati langsung maupun yang dikerjakan.

6. Tumpek Wayang

Bersyukur kepada Hyang Maha Pencipta dalam manifestasinya sebagai Hyang Iswara atas ciptaanya, sehingga atas analisys dan usahanya manusia mampu untuk berkreasi dalam mewujudkan Aikyam, Ciwam, Sundaram.

Masing masing tumpek diatas, semuanya mempunyai Mitos yang sangat menarik, Kisah rare angon (Tumpek Uye ), Kisah dari Bhatara Kala ( Tumpek Wayang ) kisah Hyang Kumararatih dsbnya. Tunggu tanggal mainnya akan diceritrakan satu persatu pasti deh kebagian semuanya mari kita sembahyang dulu hari ini dalam rangka bersyukur kepada Hyang PASUPATI. (tumpek landep ) besok besok dilanjutkan Mogi semuanya panjang yusa ayuverdi.

sumber : http://www.parisada.org
 
Tumpek Landep dirayakan setiap Sanisara Kliwon Wuku Landep. Tumpek Landep berasal dari kata Tumpek yang berarti Tampek atau dekat dan Landep yang berarti Tajam. Jadi dalam konteks filosofis, Tumpek Landep merupakan tonggak penajaman, citta, budhi dan manah (pikiran). Dengan demikian umat selalu berperilaku berdasarkan kejernihan pikiran dengan landasan nilai - nilai agama. Dengan pikiran yang suci, umat mampu memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang buruk

Tumpek landep merupakan hari raya pemujaan kepada Sang Hyang Siwa Pasupati sebagai dewanya taksu. Jadi setelah mempertingati Hari Raya Saraswati sebagai perayaan turunya ilmu pengetahuan, maka setelah itu umat memohonkan agar ilmu pengetahuan tersebut bertuah atau memberi ketajaman pikiran dan hati. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan upacara pembersihan dan penyucian aneka pusaka leluhur seperti keris, tombak dan sebagainya sehingga masyarakat awam sering menyebut Tumpek Landep sebagai otonan besi. Namun seiring perkembangan jaman, makna tumpek landep menjadi bias dan semakin menyimpang dari makna sesungguhnya.

Sekarang ini masyarakat justru memaknai tumpek landep lebih sebagai upacara untuk motor, mobil serta peralatan kerja dari besi. Sesungguhnya ini sangat jauh menyimpang. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep melakukan upacara terhadap motor, mobil dan peralatan kerja namun jangan melupakan inti dari pelaksanaan Tumpek Landep itu sendiri yang lebih menitik beratkan agar umat selalu ingat untuk mengasah pikiran (manah), budhi dan citta. Dengan manah, budhi dan citta yang tajam diharapkan umat dapat memerangi kebodohan, kegelapan dan kesengsaraan. Ritual Tumpek Landep sesungguhnya mengingatkan umat untuk selalu menajamkan manah sehingga mampu menekan perilaku buthakala yang ada di dalam diri.

Jika menilik pada makna rerainan, sesungguhnya upacara terhadap motor, mobil ataupun peralatan kerja lebih tepat dilaksanakan pada Tumpek Kuningan, yaitu sebagai ucapan syukur atas anugerah Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas sarana dan prasara sehingga memudahkan aktifitas umat, serta memohon agar perabotan tersebut dapat berfungsi dengan baik dan tidak mencelakakan. Tumpek landep adalah tonggak untuk mulat sarira / introspeksi diri untuk memperbaiki karakter agar sesuai dengan ajaran - ajaran agama. Pada rerainan tumek landep hendaknya umat melakukan persembahyangan di sanggah/ merajan serta di pura, memohon wara nugraha kepada Ida Sang Hyang Siwa Pasupati agar diberi ketajaman pikiran sehingga dapat menjadi orang yang berguna bagi masyarakat. Pada rerainan tumpek landep juga dilakukan pembersihan dan penyucian pusaka warisan leluhur. Bagi para seniman, tumpek landep dirayakan sebagai pemujaan untuk memohon taksu agar kesenian menjadi lebih berkembang, memperoleh apresiasi dari masyarakat serta mampu menyampaikan pesan - pesan moral guna mendidik dan mencerdaskan umat.

Jadi sekali lagi ditegaskan, Tumpek Landep bukan rerainan untuk mengupacarai motor, mobil ataupun perabotan besi, tetapi lebih menekankan kepada kesadaran untuk selalu mengasah pikiran (manah), budhi dan citta untuk kesejahteraan umat manusia. Boleh saja pada rerainan Tumpek Landep mengupacarai motor, mobil dan sebagainya sebagai bentuk syukur namun itu adalah nilai tambahan saja. Jangan sampai perayaan rerainan menitik beratkan pada nilai tambahan namun melupakan inti pokok dari rerainan tersebut.

OM SANTIH, SANTIH, SANTIH, OM.









Read More

Friday, June 15, 2012

June 15, 2012 No comments
DEWI SARASWATI

Saraswati (Sarasvatī ) berasal dari akar kata sr  yang berarti mengalir. Ia dapat juga berarti percakapan, kata-kata. Dalam Rig Veda V.75.3, Saraswati juga disebut sebagai Dewi Sungai, disamping Gangga, Yamuna, Susoma, dan yang lainnya.
Tuhan dalam ajaran agama Hindu disimbulkan dengan Pranava (aksara suci) AUM. AUM adalah simbul aksara yang paling suci di dalam Hindu. Dalam pengucapannya AUM berbunyi menjadi OM. AUM disebutkan merupakan dasar dari semua mantra, yang tertinggi dari semua mantra, aksara yang merupakan simbul dari sabda Brahman.
Pranava AUM merupakan lambang dari tiga sifat-kuasa utama Tuhan, yaitu mencipta (stiti), memelihara (utpti), melebur (pralina). A merupakan lambang dari Pencipta (stands for Creation). U merupakan lambang dari Pemelihara (stands for Preservation).      M merupakan lambang dari Pelebur (stands for Destruction or Dissolution). Semua kata yang mampu diucapkan oleh organ bicara manusia dapat diwakili oleh AUM. A dihasilkan dari tenggorokan, U dan M dihasilkan dari bibir.
Menurut pandangan Hindu, Tuhan adalah Dia Yang Tunggal (Brahman, Supreme) baik Yang Tak Berwujud (Nirguna Brahman) sekaligus Yang Berwujud (Saguna Brahman). Bahkan, Tuhan adalah esensi dari kehidupan, sehingga sejatinya yang ada hanyalah Tuhan. Menurut ajaran Hindu, adalah sama benarnya untuk memuja Tuhan Yang Tak Berwujud ataupun memuja Tuhan Yang Berwujud.
Dalam Rig Veda, salah satu pustaka suci Hindu, disebutkan: "Ekam sat vipraha, bahudha vadanti." ”Tuhan itu satu, orang bijaksana menyebut-Nya dengan banyak nama.” "Truth is one, the wise call It by various names." Tuhan mewujudkan Diri-Nya sebagai Pencipta disebut Brahma, Tuhan mewujudkan Diri-Nya sebagai Pemelihara disebut Wisnu, Tuhan mewujudkan Diri-Nya sebagai Pelebur disebut Siwa. Perwujudan Tuhan dengan shakti (energi kekuatan ilahi)-Nya dalam Hindu dikenal dengan sebutan Dewa-Dewi (Ishta Devatã). Memuja Dewa-Dewi adalah memuja Tuhan Itu Sendiri, memuja Tuhan Yang Berwujud.
Dewi Saraswati adalah salah satu dari tiga dewi utama dalam agama Hindu, dua yang lainnya adalah Dewi Sri (Laksmi) dan Dewi Uma (Durga). Saraswati adalah sakti (energi kekuatan ilahi) dari Dewa Brahma, Dewa Pencipta.
Dewi Saraswasti adalah dewi ilmu pengetahuan dan seni. Saraswati juga dipuja sebagai dewi kebijaksanaan.
Dewi Saraswati digambarkan sebagai sosok wanita cantik, dengan kulit halus dan bersih, merupakan perlambang bahwa ilmu pengetahuan suci akan memberikan keindahan dalam diri. Ia tampak berpakaian dengan dominasi warna putih, tampil santun dan memikat, menunjukan bahwa pengetahuan suci akan membawa para murid pada kesahajaan.
Saraswati digambarkan duduk atau berdiri diatas bunga teratai, dan juga terdapat angsa yang merupakan wahana atau kendaraan suci-Nya, yang merupakan simbol dari kebenaran sejati. Selain itu, dalam penggambaran sering juga terlukis burung merak.
Dewi Saraswati digambarkan memiliki empat lengan yang melambangkan empat aspek kepribadian manusia dalam mempelajari ilmu pengetahuan: pikiran, intelektual, kewaspadaan (mawas diri) dan ego. Di masing-masing lengan tergenggam empat benda yang berbeda, yaitu:
  • ·         Lontar (buku), adalah pustaka suci Weda, yang melambangkan pengetahuan universal dan abadi.
  • ·         Genitri (tasbih, rosario), melambangkan kekuatan meditasi dan pengetahuan spiritual.
  • ·         Wina (kecapi), alat musik yang melambangkan kesempurnaan seni dan ilmu pengetahuan.
  • ·         Damaru (kendang kecil), yang melambangkan getar indah ilmu pengetahuan.
  • ·      Angsa merupakan simbol yang sangat populer yang berkaitan erat dengan Saraswati, sebagai wahana (kendaraan suci). Angsa juga melambangkan penguasaan atas Wiweka (daya nalar, kebijaksanaan) dan Wairagya yang sempurna, memiliki kemampuan memilah dan memilih permata di antara lumpur, memilah dan memilih antara yang baik dan yang buruk; sehingga seseorang menjadi bajik dan bijak. Angsa berenang di air tanpa membasahi bulu-bulunya, yang memiliki makna filosofi bahwa seseorang yang bijaksana dalam menjalani kehidupan layaknya orang biasa tanpa terbawa arus keduniawian.
Selain angsa, juga sering terdapat merak dalam penggambaran Dewi Saraswati, merupakan simbol dari gemerlap kehidupan duniawi, kebanggaan semu. Merak sesekali waktu mengembangkan bulu-bulunya yang indah namun bukan keindahan yang abadi.
Sebagai Dewi Kebijaksanaan, Saraswati mengajarkan Vedanta. Filosofi kuno Vedanta berisi prinsip-prinsip hidup yang kekal; ajaran yang bersifat alamiah sekaligus ilmiah. Vedanta berasal dari dua kata Veda - Pengetahuan, dan Anta - Akhir. Vedanta berarti akhir pengetahuan. Filsafat kuno ini menyajikan prinsip-prinsip abadi hidup dan kehidupan. Vedanta berisikan program hidup damai yang dikombinasikan dengan aksi yang dinamis di dunia. Membekali seseorang dengan kejelasan akal-budi untuk menghadapi tantangan hidup. Di atas semuanya, filsafat Vedanta membimbing seseorang menuju pada puncak tujuan hidup, Realisasi- Diri (Self- Realization).
  
Dewi Saraswati sebagai Dewi Ilmu Pengetahuan dan Seni, dirayakan oleh umat di Indonesia, yang jatuh pada hari Saniscara (Sabtu) Umanis (Legi), wuku Watugunung. Perayaan ini dilaksanakan setiap 210 hari sebagai penghormatan kepada dewi ilmu pengetahuan dan seni.
Cara terindah untuk memahami Dewi Saraswati adalah dengan memuliakan dan menyucikannya, mencari esensi pengetahuannya, memahami makna pesan kehidupannya, dan mempraktekkannya ke dalam perbuatan sehari-hari, baik dalam pikiran, kata dan perbuatan.

Damai di pikiran, damai di kehidupan, damai selalu dalam Kasih Sayang Brahman.

Read More

Saturday, May 5, 2012

TRI HITA KARANA

May 05, 2012 No comments

Om Swastyastu,

Pendahuluan 
Masyarakat Bali dalam kesehariannya meyakini bahwa ada tiga faktor yang berpengaruh serta harus diupayakan untuk dijaga kesetimbangannya karena memegang peranan bagi tercapainya kehidupan yang baik, kebahagiaan dan kesehatan, yakni: mikrokosmos (bhuwana alit), makrokosmos (bhuwana agung) dan Tuhan.

Mengacu pada konsep tersebut, wilayah peruntukan selalu terletak di antara pura (sebagai hulu) dan setra (sebagai hilir). Masyarakat Bali juga telah membuat aturan yang jelas bagi wilayah peruntukan dan wilayah yang tidak boleh ditempati (sebagai misal untuk pura, wantilan dan pasar). Karenanya, wilayah peruntukan (desa) dapat diibaratkan sebagai gabungan dari beberapa organisme dimana setiap individu adalah tubuh, sedangkan setiap institusi adalah organ. Jantung dari sebuah desa tersebut terletak pada areal tengah, dimana merupakan pusat magis dari segala kegiatan. Berdasarkan pada konsep di atas, masyarakat Bali juga yakin bahwa jiwa seseorang dapat menjadi sakit dan mudah terserang penyakit, jika ketiga faktor di atas tidak berada dalam kondisi setimbang. Masyarakat Bali juga meyakini, bahwa baik faktor natural maupun supra natural (kesalahan dalam upacara, disalahkan oleh leluhur) dapat mengakibatkan kondisi sakit tersebut.
Komunitas tradisional di Bali selalu dikaitkan dengan hal - hal yang berbau magis, dan sebagai konsekuensinya maka pola pikir tradisional menjadi kurang begitu atraktif di jaman kini. Hal ini terjadi, karena sulitnya menjelaskan arti harfiah dari pola pikir tersebut. Maka, hal ini pulalah yang mengakibatkan semakin banyaknya interpretasi dalam upaya memahami arti dari pola pikir tradisional tersebut.

Propinsi Bali kini telah banyak mengalami perubahan, khususnya bila ditinjau dari segi kebudayaan, karakter dan kenyamanan hidup masyarakat. Propinsi Bali sebagai propinsi dengan budi daya yang tinggi memerlukan perhatian dan penataan yang sedemikian rupa karena telah terjadi keberagaman kultural dalam masyarakat yang heterogen. Perhatian dan penataan ini harus dijabarkan dalam konteks budaya yang multikultural dan majemuk, sehingga bisa membuat seluruh kota - kota di propinsi Bali lebih hidup, memiliki daya tarik visual (karena kekayaan seni dan budayanya), memiliki daya tarik sosial (karena toleransi masyarakatnya yang tinggi), sehingga secara tidak langsung akan dapat meningkatkan penerimaan dari sektor pariwisata yang tengah mengalami kelesuan.

Propinsi Bali dalam perkembangannya dipenuhi oleh pendatang luar, baik yang menetap sebagai pemukim-pemukim liar sehingga menciptakan kesemrawutan dalam tata ruang dan mengakibatkan kumuhnya tatanan kota, maupun karena meningkatnya laju urbanisasi dan pariwisata yang berdampak pada tingginya kebutuhan dan pemakaian energi dan meningkatnya pencemaran yang terjadi.

Sebagai pusat pariwisata di Indonesia dan sebagai barometer pariwisata dunia, permasalahan yang dihadapi tentu saja sangat berbeda dengan propinsi lainnya yang ada di Indonesia, khususnya dalam menetapkan lahan dan tata ruang yang tepat serta upaya penanganan limbah dan pencemaran, sebagai hasil proses industri.

Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai dasar dalam pembangunan Bali berlanjut, dilandasi oleh tiga dasar pemikiran, yaitu, (1) normatif-filsafati, (2) empiris, (3) pragmatik. Pengembangan konsepsi Tri Hita Karana sebagai suatu produk ilmiah, keberadaannya sangatlah mendesak untuk dilakukan mengingat lima alasan prinsip seperti berikut:

Pertama, substansi Tri Hita Karana yang menjiwai tata ruang Bali sering dilencengkan untuk tujuan ekonomis tertentu, sehingga semrawutnya pembangunan di Bali, selain disebabkan oleh tidak jelasnya tata ruang, lemahnya sistem kontrol dari pemerintah dan masyarakat, juga karena kurangnya perhatian dari pelaku pembangunan.

Kedua, pembangunan di Bali menghadapi tantangan yang sangat berat. Laju pembangunan tanpa didukung oleh konsepsi dan pemahaman makna tentang harmonisasi antara manusia, lingkungan dan Tuhan, akan berakibat pada semakin tidak teraturnya pembangunan itu sendiri. Ruang (atau penataran) adalah suatu wadah yang sangat penting, karena disinilah harmonisasi antara manusia, alam dan Tuhan terjalin.

Ketiga, konsep Tri Hita Karana sebagai landasan fiosofis dalam pembangunan Bali yang berlandaskan budaya dan dijiwai oleh agama Hindu telah banyak dijabarkan, namun implementasinya dalam dinamika pembangunan Bali dan upaya untuk mewujudkan pembangunan Bali yang berkelanjutan, berwawasan budaya dan lingkungan, belum optimal.

Keempat, konsep Tri Hita Karana, karenanya perlu dirumuskan kembali seiring dengan situasi dan kondisi di Bali yang sudah jauh berbeda, sehingga bisa merangkul beberapa komponen dan aspek yang nyata dan terlibat langsung dalam proses pembangunan, yang meliputi ekonomi, sosial, budaya, keamanan dan kenyamanan.

Kelima, selain itu, pemahaman makna dari konsep Tri Hita Karana harus dapat mengikuti perkembangan jaman dan siap berubah ke arah yang wajar, karena bergesernya nilai - nilai dan pola tatanan yang ada dalam pembangunan di Bali lebih banyak disebabkan oleh kurangnya pemahaman makna para pelaku pembangunan, sehingga visi dan misi dari konsep Tri Hita Karana perlu lebih dipertajam lagi dengan jalan menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan dan pengembangan Bali secara berkesinambungan.

Oleh karena itu, pengembangan konsepsi Tri Hita Karana, yang merupakan suatu local genius budaya Bali, merupakan suatu perwujudan dari kerangka pemikiran dalam rangka menjadikannya sebagai suatu kodifikasi standar dari pembangunan di Bali.

Tinjauan Budaya

Kebudayaan bukanlah merupakan suatu rangkaian kata yang sederhana yakni sebuah sistem yang mengorientasikan hubungan antara sesama manusia dan sekitarnya tetapi mengandung pula khasanah ideologi, yang sebagai akibatnya akan menimbulkan pertanyaan berupa: apa yang dicari serta untuk apa. Beberapa kajian tentang kebudayaan Bali telah banyak dilakukan, tetapi sebagian besar masih berkisar pada aspek antropologi serta kurang menyentuh sisi yang paling dasar yakni arsitektur tradisional Bali itu sendiri.

Meskipun arsitektur tradisional Bali memegang peranan yang sangat penting dalam komunitas dan budaya Bali (khususnya dalam tata ruang), masih sedikit yang berupaya untuk menggali potensinya lebih dalam.

Budaya tradisional di Bali memang tidak berubah secara dramatis. Pernyataan dari Bateson dan Mead serta Suryani dan Jensen dapat dipergunakan untuk mempelajari perubahan - perubahan dalam kebudayaan Bali. Meskipun Covarrubias dan Ramseyer berpendapat bahwa masyarakat Bali dapat berasimilasi dengan budaya baru serta menyatukannya dalam budaya tradisional (tanpa harus menghancurkan budaya tradisional itu sendiri), namun pergeseran budaya itu sendiri tetap terjadi, sehingga sedikit banyak telah mengubah tatanan yang ada.

Sejak dikembangkannya Bali menjadi daerah tujuan wisata dalam kurun dua dasa warsa belakangan ini, telah terjadi perkembangan yang sangat dinamis dalam hal kebudayaan, terlebih karena budaya yang dibawa oleh para pendatang telah ikut membentuk dan memberi warna dalam tata ruang di propinsi Bali.

Gubernur Bali saat itu, almarhum Prof. Dr. Ida Bagus Mantra, mengeluarkan edaran yang meminta para pejabat di Bali memakai arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah. Hal ini sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.

Beliau juga berinisiatif mengatur tata ruang dan ketinggian gedung (sempadan vertikal) hingga maksimal sampai 15 meter dari permukaan tanah. Para arsitek sejumlah hotel berbintang di Bali menjabarkan kebijaksanaan ini dengan jalan membangun gedung-gedung dan menata ruang sedemikian rupa sehingga mampu mencirikan pola arsitektur tradisional Bali yang sekaligus bisa memenuhi fungsi-fungsi perhotelan berstandar internasional.

Meskipun kini banyak gedung - gedung dibangun dengan memakai pola arsitektur Bali, bangunan tersebut tetap tidak sama dengan gedung - gedung pada pola arsitektur tradisional Bali maupun konsep Tri Hita Karana yang sebenarnya.

Hal ini terjadi karena tinggi gedung, orientasi dan jarak antar gedung pada pola arsitektur tradisional Bali yang sebenarnya sangat tergantung pada letak dan fungsinya masing - masing. Gedung - gedung bernuansa Bali tersebut juga tidak dapat disebut sebagai ukuran yang ringkas (compact) dari bangunan tradisional Bali yang sebenarnya, karena hampir serupa dengan bangunan modern biasa yang dikemas dalam ornamen - ornamen Bali. Karenanya, pemakaian arsitektur Bali dalam pembangunan gedung-gedung pemerintah belumlah dapat dikatakan sebagai upaya untuk mengantisipasi tergusurnya seni dan budaya Bali dari pengaruh budaya luar.

Tinjauan Terhadap Pola Pikir Tradisional

Dalam kehidupan sehari - hari, masyarakat Bali senantiasa percaya bahwa ada tiga faktor yang mesti dijaga kesetimbangannya, yakni mikrokosmos (pribadi masing - masing orang), makrokosmos (alam semesta) dan Hyang Widhi (Tuhan).

Konsep kesetimbangan hubungan di antara ketiga faktor ini disebut sebagai Tri Hita Karana. Mengacu pada konsep di atas, masyarakat Bali mengatur peruntukan suatu areal menjadi wilayah pawongan, palemahan dan parahyangan, berturut - turut untuk mikrokosmos, makrokosmos dan Hyang Widhi. Selain itu, wilayah dibagi pula berdasarkan pada arah hulu dan hilir. Wilayah hulu dinyatakan pada arah dimana matahari terbit atau dataran yang lebih tinggi berada (sebagai contoh bukit dan gunung). Sebaliknya, wilayah hilir diberikan pada arah dimana matahari terbenam atau pantai. Nordholt menyatakan bahwa fluida inilah yang diyakini bersirkulasi dari pegunungan yang suci menuju ke pantai, serta dari pantai akan kembali lagi ke gunung (sebagai angin dan hujan). Hal ini sekaligus juga menunjukkan bahwa kehidupan di Bali merupakan pergerakan yang konstan dan berkesinambungan antara hulu dan hilir.

Mengacu pada konsep Tri Hita Karana tersebut, desa - desa di Bali selalu menempatkan pura (tempat pemujaan) pada wilayah hulu, sedangkan tempat - tempat pembuangan diletakkan pada bagian hilir. Masyarakat Bali membuat perbedaan yang tegas antara wilayah pemukiman dan wilayah yang diperuntukkan bagi bangunan - bangunan umum, seperti halnya pura, wantilan dan pasar. Karenanya, sebuah desa merupakan satu kesatuan yang utuh dimana setiap individu adalah tubuh serta setiap institusi adalah organ tubuh itu sendiri. Prinsip orientasi bangunan terhadap arah hulu dan hilir inilah yang mengatur distribusi bangunan - banguan suci dan perumahan pada daerah tradisional.

Tinjauan Terhadap Permasalahan yang Berkembang Pembangunan fisik yang banyak kita jumpai saat ini adalah berupa sarana transportasi, gedung - gedung bertingkat (baik untuk perkantoran, hotel - hotel, apartemen dan pertokoan), perumahan, serta taman wisata. Semua ini dibangun baik dengan memanfaatkan lahan kosong, lahan produktif maupun lahan yang sebenarnya berpotensi sebagai daerah penyangga. Meskipun propinsi Bali telah sukses meraih penghargaan Adipura, namun kriteria untuk menjadikan seluruh kota sebagai daerah yang nyaman belum tercakup di dalamnya. Justru sebaliknya, temperatur rata - rata di beberapa kota semakin meningkat dalam satu dasa warsa ini. Pencemaran juga menjadi persoalan yang berpengaruh terhadap kenyamanan penghuni, sehingga harus menjadi parameter penting dalam penataan kota.

Konsep pembangunan di propinsi Bali memang sebaiknya ditinjau kembali. Pembangunan dan penataan kota nantinya dapat saja bersandar kepada nilai - nilai luhur tradisional yang telah teruji kebenarannya, namun sebelum melangkah lebih jauh perlu disadari bahwa arsitektur tradisional Bali selalu dikaitkan dengan aturan - aturan yang bersifat magis. Sebagai contoh, masyarakat umum selalu mengaitkan tempat - tempat suci dengan istilah - istilah sakral. Bagaimana masyarakat umum mendefinisikan serta menjabarkan istilah - istilah sakral tadi ditinjau dari konteks kekinian belum pernah dijabarkan dan diformulasikan. Belum ada yang mampu memberikan kajian mendalam ataupun menjabarkannya menjadi formula yang bisa diterima oleh seluruh komponen masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan mengapa arsitektur tradisional Bali -yang justru berperanan banyak dalam komunitas masyarakat Bali- menjadi kurang atraktif dalam pembangunan modern sekarang ini, terlebih dengan terbatasnya lahan yang ada sehingga menyulitkan pembangunan gedung dengan pola arsitektur tradisional Bali yang murni.

Bila pembangunan di propinsi Bali kembali didasarkan pada nilai - nilai luhur tradisional Bali, satu pertanyaan yang akan muncul adalah: apakah keunggulan dari pola arsitektur tradisional bila dikaitkan dalam jaman modern dengan permasalahan yang semakin kompleks, khususnya bila ditinjau dari segi sosial, budaya, ekonomi, keamanan serta kenyamanan? Pertanyaan selanjutnya adalah: dapatkah pola - pola tradisional tersebut dijadikan baku standar dan disosialisaikan, seperti halnya pada negara - negara maju yang senantiasa memiliki kodifikasi standar dalam pembangunannya?

Bila kedua pertanyaan di atas dapat diberikan alasan yang tepat, maka kodifikasi bangunan selain sebagai upaya untuk menstandarkan pola bangunan, pola pembangunan dan pengembangan, ia sekaligus juga akan melestarikan bangunan - bangunan tradisional Bali itu sendiri.

Agar mampu menjadi suatu standar dalam pembangunan yang berkelanjutan, maka :

1. Konsep Tri Hita Karana -sebagai konsep keseimbangan dalam budaya dan masyarakat Bali- mampu menjadi acuan pembinaan, peningkatan pembangunan yang berkualitas, serta menjadi standar dalam pengembangan dan pembangunan, sehingga selain mencirikan nuansa Bali yang berwawasan lingkungan juga dapat menjadi acuan dalam pembangunan di dunia internasional.

2. Konsep Tri Hita Karana, sebagai suatu local genius Bali, mampu menggabungkan beberapa macam ilmu pengetahuan yang berkaitan erat dengan standar baku pembangunan dengan lebih mengedepankan konsep tradisional Bali, serta kreatif dan inovatif untuk memecahkan masalah - masalah yang ada maupun yang akan datang.

3. Konsep Tri Hita Karana mampu menjawab berbagai persoalan yang terbaru dan mampu mengantisipasi dampak teknologi dan perkembangan iptek terhadap budaya dan lingkungan.

Ada beberapa pemikiran yang melandasinya, yakni :

1. Sekalipun pembangunan dan pengembangan propinsi Bali lebih menitik beratkan pada nilai - nilai luhur tradisional, namun diupayakan agar tidak bersifat sektarian dan primordial, tetapi cenderung pada budaya multikultural dan pluralistik, hingga sanggup menampung budaya Bali yang terus menerus berproses dan berkembang.

2. Penataan kota - kota dan pola pembangunan dengan metoda yang sektarian cenderung akan menjadikan kota - kota dan pola pembangunan tersebut semuanya harus berdasar pada arsitektur Bali. Budaya multikultural dan pluralistik yang dimaksudkan adalah budaya dimana ada proses sinkretisme, inkulturasi serta asimilasi kultural dalam perkembangannya, sehingga akan dihasilkan budaya kekinian yang dapat diterima dan dirasakan oleh semua pihak, yang dapat terus mengantisipasi perkembangan itu sendiri.

3. Penataan dan pengembangan seluruh sub-sistem yang meliputi semua sarana dan prasarana untuk mendukung pemakaian konsep Tri Hita Karana secara professional, serta terus - menerus menggali dan melaksanakan penelitian tentang konsep tersebut secara optimal.

4. Kontribusi ilmu pengetahuan, hasil penelitian dan konsep - konsep terbaru yang memiliki relevansi yang kuat demi terwujudnya upaya untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar pembangunan di Bali.

5. Pemberdayaan sumber daya yang ada secara efektif dan penerapan sistem perbaikan kualitas secara kontinyu di segala sektor dengan menggunakan langkah - langkah terprogram, untuk menjadikan konsep Tri Hita Karana sebagai dasar pembangunan di Bali.

6. Upaya untuk menciptakan lingkungan yang kondusif dalam penelitian dan pengembangan konsep Tri Hita Karana, sehingga dapat disosialisasikan kepada masyarakat. 


7. Memberikan informasi tentang orientasi pengembangan teknologi dan iptek di Bali dalam pembangunan jangka panjang, penelitian tentang pembangunan dan pengembangan Bali, baku mutu standar dalam upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman sosial, budaya dan perilaku masyarakat dalam kaitannya dengan upaya pengembangan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali, pemahaman informasi dan kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pemakaian dan upaya mengembangkan konsep Tri Hita Karana sebagai suatu standar baku pembangunan di Bali.

"Om Santih Santih Santih Om".




Read More

Wednesday, February 8, 2012

BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM

February 08, 2012 4 comments

Om Swastyastu,

BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM

Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing Dhang Hyang Subali, Dhang Hyang Jaya Rembat dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah merupakan tokoh sejarah yang menjadi leluhur prati sentana Maha Gotra Tirta Harum.
Dhang Hyang Subali dan Dhang Hyang Jaya Rembat dalam khasanah sejarah Bali adalah merupakan manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan yang menjabat sebagai Adipati di Bali yang diberikan otoritas memerintah Bali oleh Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk, sedangkan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah seorang tokoh penting dalam strata birokrasi pemerintahan di Majapahit dikenal dengan sebutan Sapto Prabhu. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dikenal dalam khasanah sejarah dalam periode imperium Kerajaan Majapahit menduduki tahta kerajaan di Kedatuan Wengker, Daha dan Keling.
Dhang Hyang Subali berdasarkan sejarah tradisi lisan di Bali dan beberapa babad serta pariagem adalah orang tua dari Ni Dewi Njung Asti, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi ayah angkat dari Sang Angga Tirta dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta yang kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum.
Mengikuti genealogi atau hubungan kekerabatan dari ketiga tokoh sejarah yang melegenda di Bali itu maka diketahui bahwa Dhang Hyang Subali adalah kakek dari Sang Angga Tirta, sedangkan Dhang Hyang Jaya Rembat menjadi orang tua angkat dari Sang Angga Tirta setelah diangkatnya Sang Angga Tirta sebagai dharma putra dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah ayah biologis dari Sang Angga Tirta.
Fakta sejarah yang terungkap  kemudian setelah diadakannya penelitian atas prasasti Tamblingan menurut efigraf I Gusti Made Suwarbhawa dari Balai Arkeologi Denpasar diketahui bahwa prasasti yang dikeluarkan oleh Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa antara lain : prasasti Her Abang II, prasasti Tamblingan, prasasti gobleg, prasasti Pura Batur C. Paduka Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa didalam naskah Pararaton dikenal bernama Bhre Wengker wafat pada tahun saka gagana rupa anahut wulan 1310 saka atau 1388 Masehi, juga dikenal dengan nama Raden Kudamerta, ia juga dikenal dengan sebutan Bhre Parameswara, bergelar Paduka Bhatara Matahun Shri Bhatara Wijaya Rajasa  nama wikrama Tungga Dewa, Bhatara Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana.
Menurut hasil kajian dari Balai Arkeologi Denpasar itu yang mengungkapkan bahwa Paduka Shri Parameswara Sang Mohta ring Wisnubhuwana itu analog dan cocok dengan sebutan atau paraban yang disuratkan pada babad Purana Batur yang secara tekstual menyebutkan bahwa Ni Dewi Njung Asti dipersunting oleh Bhatara Wisnu Bhuwana dan berputra Sang Angga Tirta.
Dengan demikian mitos yang dituangkan dalam babad Purana Batur yang bersifat kultus dewaraja adalah nama lain daripada Shri Wijaya Rajasa yang tersurat dibeberapa prasasti yang dikeluarkan oleh beliau seperti prasasti Tamblingan, prasasti Tulukbiu dan prasasti lainnya.
Hasil inventarisasi nama-nama yang merujuk pada figur sejarah Shri Wijaya Rajasa antara lain : Raden Kudamerta , Bhre Wengker, Bhre Parameswara, Paduka Bhatara Matahun, Shri Bhatara Wijaya Rajasa, nama Wikrama Tungga Dewa, Paduka Shri Maharaja Raja Parameswara Shri Wijaya Sakala Prajanandakarana, Dalem Keling, Bhatara Guru, Bhatara Shri Parameswara Sang Mokta ring Wisnubhuwana.
Candi Wisnubhuwana berlokasi di Manyar Kabupaten Gresik Jawa Timur menurut para arkeolog diketahui disebut sebagai Candi Wisnu Bhuwana setelah ditemukannya prasasti Biluluk bertarih 1391 Masehi.
 Berangkat dari realitas sejarah sedemikian, maka ketiga tokoh legendaries sejarah itu adalah menjadi leluhur Maha Gotra Tirta Harum. Jika Dang Hyang Subali dan Dang Hyang Jaya Rembat dating ke Bali pada tahun 1350 Masehi, bersama-sama dengan Sri Kresna Kepakisan dan dikukuhkan sebagai manggala Bhagawanta Dalem Samprangan, maka Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa justru dating ke Bali pada tahun 1380 Masehi. Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebagai “ nabe “ dari Dalem Ketut Ngelusir ".
Kemelut dan krisis kepemimpinan penguasa di Bali pada tahun 1380 Masehi mendorong Raja Majapahit Sri Natha Hayam Wuruk menugaskan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa seorang anggota Pahoem Narendra yang lebih dikenal dengan nama kelompok Sapto Prabhu di Kedatuan Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota kerajaan dan menata pemerintahan di daerah taklukan Bali.
Kalau dicermati tugas pokok Bhatara Sapto Prabhu yang dikenal dalam naskah Negarakertagama dengan sebutan Pahoem Narendra adalah : mengurus soal keuangan raja, menetapkan dan mempertimbangkan pergantian mahkota dan urusan kebijaksanaan kerajaan. Merujuk dari tugas pokok yang tertuang dalam Pahoem Narendra itu memberi petunjuk kepada kita bahwa kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali adalah tugas penting yang bersifat strategis. Jadi pada hakekatnya kehadiran dan kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa ke Bali bukan semata-mata bertugas sebagai Dhang Guru Nabe dari Dalem Ketut Ngelusir tetapi bagaimana menata pemerintahan di daerah ini dan melaksanakan pergantian mahkota karena adanya krisis kepemimpinan di Bali.
Dalam Purana Batur disuratkan bahwa Bhatara Wisnu Bhuwana dijuluki sebagai Bhatara Guru sebagai “ nabe “ Dalem Ketut Ngelusir. Tapi interpretasi dari berbagai babad dan prasasti terungkap bahwa kehadiran Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang pasraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli adalah untuk menata pemerintahan di Bali dan untuk mengembalikan kredibilitas Kerajaan Majapahit di daerah Bali.
Dengan asumsi demikian maka kedatangan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa seperti yang tersurat dalam 2 prasasti masing-masing Prasasti Her Abang II berangka tahun 1384 Masehi dan Prasasti Tamblingan III berangka tahun 1398 Masehi itu adalah orang kuat dan sangat berperan penting yang diutus Raja Majapahit untuk melaksanakan pergantian mahkota Bali.
Gelar abhiseka yang tersurat dalam prasasti Her Abang II dan Prasasti Tamblingan III berupa lempengan tembaga saat ini tersimpan di Pura Tuluk Biyu Kintamani yakni manuskrip kuna menyebut gelar : Paduka Sri Maharaja Raja Parameswara Sri Sakala Raja Nanda Karana.
Gelar abhiseka ini member petunjuk pada sejarahwan bahwa gelar dan abhiseka seperti yang termuat dalam dua prasasti penting itu adalah merupakan gelar tertinggi yang dimiliki raja yang berkuasa. Pemakaian gelar tesebut tidaklah sembarangan, hanya figure atau individu dengan kekuasaan tertinggi dan menentukan yang berhak menyandangnya.
Dalam kronik-kronik Dynasti Ming disebutkan bahwa sejak tahun 1377 Masehi terdapat dua penguasa Jawa yang mengirimkan duta dan hadiah ke Kaesar Cina. Raja Kedaton Barat disebut sebagai Wu-Lao Po Yuan, Raja Kedaton Barat tersebut adalah ejaan Bahasa Cina dari Bhre Prabhu atau penguasa tertinggi kerajaan. Identifikasinya jelas pada Raja Hayam Wuruk yang masih bertahta di Majapahit. Sedangkan yang bertahta di Kedaton Timur adalah disebut sebagai Wu-Yuan-Lao Wang Chieh. Raja Kedaton Timur tersebut adalah Bhre Wengker. Fakta sejarah ini memberi petunjuk bahwa Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja besar di Kedaton Timur meliputi Kerajaan Daha, Wengker, dan Keling. Berdasarkan data ikonografis yang ditemukan di lapangan maka daerah kekuasaan raja di Kedaton Timur secara geografis membentang di dua kabupaten di Jawa Timur masing-masing di Kabupaten Kediri dan Kabupaten Madiun saat ini.
Menurut naskah Pararation Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa nama kecilnya dikenal bernama Raden Kuda Amerta.
Beliau adalah paman dari Raja Majapahit Hayam Wuruk. Di Kedatuan Majapahit beliau mempersunting putri dari pendiri Kerajaan Majapahit Raden Wijaya yakni bernama Raja Dewi Maharajasa atau dalam khasanah sejarah dikenal dengan nama Dyah Wiyah Sri Raja Dewi yang diangkat sebagai Bhre Daha. Ikatan perkawinan ini menjadikan Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa memerintahkan kerajaan bersama-sama dengan permaisurinya. Dari hasil perkawinannya itu punya satu satunya putri tunggal bernama Paduka Sori. Dari realitas sejarah yang ditelusuri maka kita mengetahui bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa di Jawa hanya mempunyai seorang putri sehingga keturunannya di Kedatuan Majapahit adalah dari unsure wanita atau wadon.
Menurut Babad Purana Batur, Bhatara Guru atau Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa di Bali menurunkan tiga orang putri dan seorang putra. Putra bungsunya ini oleh Babad Batur atau Purana Batur dikisahkan lahir di Permandian Tirta Harum. Cuplikan yang tersurat dalam Purana Batur itu antara lain sebagai berikut : Bhatara Guru malih medrue putra lanang I Gede Putu, cahi putu manipuan cahi turunang Bapa ke Tirta Toya Mas Harum.
Di lokasi pancoran yang dicatat dalam Purana Batur dengan nama Toya Tirta Mas Harum, ini telah berdiri pura Tirta Harum yang merupakan salah satu pura bersejarah dan sekaligus menjadi juga pura kawitan, yang berhubungan dengan kisah Bhatara Wisnu Bhuwana yang mempersunting Dewi Njung Asti. Mitos yang tertuang dalam Purana Batur tentang sosok dan figur Bhatara Wisnu Bhuwana itu secara historis dapat dicermati dengan interpretasi yang benar dan utuh bahwa predikat dan sebutan yang tertuang dalam Purana Batur itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa. Dengan konklusi itu semua maka secara historis di Bali Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa mempersunting Ni Dewi Njung Asti dengan abhiseka Sri Aji Ayu Murub Rikanang Wilwatikta secara genealogis atau hubungan kekerabatan dari hasil perkawinannya berputra putri masing-masing putri bernama Dewa Ayu Mas Magelung, putri kedua bernama Dewa Ayu Mas Gegelang, putri ketiga bernama Dewa Ayu Mas Murub dan putra terakhir bernama Sang Angga Tirtha.
Dalam versi lain lontar Pura Dalem Siladri menyuratkan bahwa putra bungsu dari perkawinan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dengan Ni Dewi Njung Asti oleh Dang Hyang Subali dianugrahi gelar I Dewa Gede Angga Tirta dan setelah dewasa diberi gelar I Dewa Gede Sang Anom Bagus.
Secara logika maka sangat wajar seorang kakek yakni Dang Hyang Subali berkenan member nama cucunya. Mencermati apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu maka secara historis tidak terbantah bahwa Ni Dewi Njung Asti adalah benar putri dari Dang Hyang Subali yang dikenal sebagai manggala dan bhagawanta Dalem Samprangan. Dang Hyang Subali berstana di Tohlangkir membangun tempat beryoga di Pura Bukit Batur berlokasi 150 meter di sebelah timur Pura Tirta Harum dan disekitar pasraman tersebut diberi nama Brasika.
Apa yang tersurat dalam lontar Pura Dalem Siladri itu cocock dan analog dengan sejarah lisan atau forklore yang secara tradisisonal turun temurun menceritakan bahwa Ni Deewi Njung Asti adalah putrid dari Dang Hyang Subali. Interpretasi yang mengaitkan Ni Dewi Njung Asti secara etimologis identik dengan Dewi Danu dan Bhatara Wisnu Bhuwana diidentikan dengan dewa penguasa air di darat adalah asumsi yang menyesatkan dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip historiografi yang reflektif dan lojik. Bhatara Wisnu Bhuwana yang tersurat dalam Babad Purana Batur secara tersirat adalah berarti raja atau penguasa pelindung rakyat. Cara pandang rakawi yang menyuratkan dalam Babad Purana Batur yang berbau kultus dewa-raja sedemikian adalah wajar pada jamannya. Tetapi secara kritis peneliti sejarawan harus mampu memberi interpretasi yang benar terhadap apa yang tersurat dan apa yang tersirat.
Perspektif baru penulisan sejarah membutuhkan metodologi sejarah yang komprehensif dan pendekatan yang multidimensional untuk ditemukannya fakta sejarah yang obyektif dan terukur validitasnya, hendaknya menggunakan metode analisis sejarah yang dikenal dalam terminology ilmiah disebut metode pendekatan struktural, agar dapat diketahui oleh sejarawan sttruktur kemasyarakatan, struktur birokrasi, struktur perwilayahan dalam bingkai waktu, peristiwa dan pelaku sejarah secara lojik dan kritis, sehingga para peneliti dan penulis sejarah tidak terperangkap pada anakronisme penafsiran yang salah kaprah.
Putra bungsu yang bernama Sang Angga Tirtha inilah kelahirannya dikaitkan dengan Pura Tirta Harum yang dikenal dalam khasanah sejarah sebagai cikal bakal pratisentana Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Dalam rentang waktu yang panjang karena titah dan kehendak sejarah putra satu-satunya dari Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa menurunkan “ warih “ keturunan yang menjadi raja-raja di Kerajaan Tamanbali, Nyalian dan Bangli.  
Dari sudut pandang geneologi atau hubungan kekerabatan dapat ditelusuri bahwa dari segi kepurusa atau garis kebapakan darah yang mengalir di tubuh Sang Angga Tirta adalah darah kesatrya sedangkan dari unsur wadon atau gari keibuan mengali darah biru catur pandita atau kebrahmanaan. Dengan mengikuti realitas sejarah itu dapat diambil kesimpulan bahwa Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal Maha Gotra Tirta Harum di Bali adalah figure kesatrya kebrahmanaan. Ia adalah Satrya Dalem karena ayah biologisnya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa adalah raja di Kerajaan Wengker, Daha, dan Keling, sedangkan Ni Dewi Njung Asti sebagai wanita cikal bakal dan sumber benih dari Sang Angga Tirta adalah putrid dari Dhang Hyang Subali sebagai Manggala dan Bhagawanta Dalem Samprangan yang berdarah biru keturunan catur pandita di Bali.
Dari sudut pandang historis sosiologis dapat dicermati bahwa Paduka Parameswara Shri Wijaya Rajasa yang berputra Sang Angga Tirta adalah sebagai Wamsakarta Maha Gotra Tirta Harum di Bali. Wamsakarta adalah akronim yang deberikan oleh para peneliti sejarah bagi sosok atau figure sejarah yang berhasil mengembangkan dan membentuk kewangsaan atau klen tertentu dan menjadi raja-raja pada kurun waktu tertentu serta dicermati ikut menentukan jalannya sejarah.
Menurut antropolog Prof. Dr. I Gusti Ngurah Bagus dijelaskan bahwa wangsa atau klen di Bali terbentuk pada kelompok keluarga patrilinial yang memiliki pemujaan leluhur atau nenek moyang menurut garis laki-laki. Jadi mereka yang tunggal kawitan. Kelompok keluarga patrilinial ini dalam format kecil di Bali disebut soroh dalam ssatu komonitas dadia, tapi nantinya setelah dalam kurun waktu tertentu karena kehendak jalannya sejarah maka soroh ini berkembang menjadi wangssa atau gotra. Hubungan kekerabatan yang merunut pada garis patrilinial di Bali sangat penting. Wamsakarta dalam sejarah nantinya menjadi simbul pemersatu dan penghubung jaringan kekerabatan yang semakin meluas dan melebar melampaui batas-batas territorial.
Prinsip patrilinial dimaksudkan hubungan kekerabatan melalui pria saja, dank arena itu mengakibatkan bahwa bagi tiap individu dalam masyarakat di mana semua kaum kerabat ayahnya masuk di dalam batas hubungan kekerabatannya, sedangkan semua kaum kerabat ibunya di luar batas kekerabatan itu.
Dinobatkan Raja Bali Sri Kresna Kepakisan sebagai adipati wakil Kerajaan Majapahit di Bali dalam rentang waktu yang lama ternyata telah membentuk wangsa tersendiri dalam system pelapisan masyarakat Bali. Lima belas orang Arya, beberapa orang Kesatrya, tiga orang Wesia, ratusan prajurit dank aula Jawa yang ikut dalam ekspedisi militer Gajah Mada itu dan kemudian menetap untuk menyertai Sang Adipati memerintah di Bali juga telah membentuk wangsanya sendiri-sendiri. Dalam rentang waktu yang panjang secara historis sosiologis terbentuk dan terbangun trah atau wangsa-wangsa seperti Wang Bang Kresna Kepakisan, Arya Tegeh Kori, Arya Pinatih, dan tidak terkecuali juga terbentuk dan terbangunnya klen atau trah Maha Gotra Tirta Harum.
Kondisi sosiokultural dalam masyarakat Bali pada gilirannya nanti menumbulkan adanya dualisme dalam pelapisan masyarakat Bali Hindu atau Bali Jawa yang dikenal dengan sebutan Wong Majapahit dan Wong Bali Mula atau Wong Baali Aga. Dengan kata lain masyarakat Bali terbagi menjadi dua golongan yaitu Hindu Bali yang merujuk kepada orang Majapahit Jawa dan keturunannya, dan Bali Mula atau Bali Aga yang merujuk kepada orang Bali Asli yang dikalahkan oleh Kerajaan Majapahit. Secara hirarki masyarakat Bali yang merunut garis lurus hubungan kekerabatan atau genealogi sedemikian ternyata sampai kini sangat dominan mewarnai strata kekerabatan dan sosiokultural di Bali.
Paduka Bhatara Parameswara Sri Wijaya Rajasa dari realitas sejarah yang berhasil ditelusuri adalah wamsakarta bagi semua keturunanya dari garis patrilinial di Bali yang merujuk pada kelompok keluarga yang tunggal kawitan dan terbukti secara historis menurunkan warih yang menjadi raja-raja di KerajaanTamanbali, Nyalian dan Bangli selama kurun waktu lebih dari lima abad yakni sejak madeg ratunya Sang Garbajata hasil perkawinan Sang Angga Tirta dengan Ni Luh Ayu Sadri dan menjadi Raja Tamanbali sejak tahun 1524 Masehi. Diangkatnya Sang Garbajata sebagai Manca dengan kedudukan di Tamanbali nantinya bergelar abhiseka I Dewa Tamanbali sebagai Raja Kerajaan Tamanbali pertama.
Episode sejarah dengan diangkatnya Sang Garbajata sebagai Raja di Kerajaan Tamanbali pada tahun 1524 Masehi adalah merupakan tonggak sejarah yang sangat penting dalam khasanah sejarah Bali, sebab dengan menjadi rajanya keturunan trah atau klen Maha Gotra Tirta Harum dalam rentang waktu yang cukup lama dalam perjalanan sejarah maka nantinya keturunannya menyebar dan meluas melampaui batas-batas teritorial dan bermukim di seluruh persada Bali.
Dengan ditemukannya wamsakarta nantinya dapat digunakan sebagai instrument untuk memperoleh gambaran yang lebih jelas tentang sejarah terbentuknya system pelapisan sosial suatu masyarakat serta perubahannya. Komponen-komponen yang membentuk dan mengisi system itu tersusun berdasarkan asas keturunan yang kemudian disebut wangsa atau gotra.
Dari penelitian arkeolog Dr. Agus Munandar terungkap pakta sejarah bahwa pengaruh Majapahit di Bali dimulai sejak masa ketika Bali bernaung dibawah panji-panji kebesaran Wilwatikta di pertengahan abad ke-14. Bersamaan itu pula system pemerintahan di Bali disesuaikan penataannya  atas petunjuk pejabat Majapahit. Pejabat Majapahit itu tiada lain adalah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa selama lebih dari 9 tahun bermukim dan berkiprah di Bali setelah penaklukan Bali oleh Kerajaan Majapahit maka beliau bertugas mengawasi pemerintahan di Bali. Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa memberi petunjuk dan pembelajaran bagi Dalem Ketut Semara Kepakisan yang umurnya masih relative muda untuk melaksanakan tata pemerintahan yang benar. Masuknya kekusaan raja-raja Majapahit di Bali membawa pengaruh dan dampak yang mendalam pada penduduk dan masyarakat Bali.
Fakta sejarah yang terungkap kemudian betapa diakuinya peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa terungkap secara tekstual penghargaan dari Dalem Sri Semara Kepakisan pada periode masa akhir Majapahit setelah Shri Wijaya Rajasa tiada lagi dengan kata-kata sebagai berikut : “ Setelah tiba di pusat kota ( Wilwatikta ) baginda Dhalem Shri Semara Kepakisan termenung sedih melihat kota sepi dan sunyi, hal ini membuat kekecewaan dihati baginda, teringat dengan cinta kasih Maharaja Shri Hayam Wuruk dan Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa.
Pada bagian lain dari buku Sejarah Keluhuran Dhalem Suhunantara diungkapkan secara tertulis bahwa ada 3 ( tiga ) raja pada waktu paruman-agung di Wilwatikta memiliki tempat istimewa singghasana yaitu Maharaja Majapahit Shri Rajasa Negara yang disebut juga BRA Wijaya Pamungkas, Raja Wengker Shri Wijaya Rajasa dan Raja Bali Shri Semara Kepakisan .
Lebih jelas lagi betapa peranan tokoh Shri Wijaya Rajasa ketika mangkat hari Anggara Kasih bulan Jiesta tahun saka 1310 atau 1388 Masehi maka titah dari sang raja Shri Nata Hayam Wuruk ketika itu yang dibacakan oleh putrinya bernama Dyah Kusuma Wardhani sebagai berikut : pertama Sang Prabhu menyampaikan duka mendalam disertai doa puja mantra semoga beliau bersatu dengan atma Hyang Widhi di alam kelanggengan. Kedua Sang Prabhu juga berkenan memberikan penghargaan tertinggi kepada beliau yang telah tiada sebagai salah satu pahlawan atau pengabdiannya terhadap Majapahit.Ketiga menyerahkan keputusan pemilihan tempat selayaknya atas abu jenasah yang akan diprabhukan dan dicandikan nanti kepada musyawarah keluarga istana.
Abu jenasah Sang Bhatara Parameswara Shri Wijaya Rajasa akhirnya atas usul dan saran dari seluruh kerabat keluarga besar istana ditetapkan disimpan di Candi Wisnu Bhuwana desa Manyar Gresik.
Pemberdayaan rakayat dan masyarakat lewat kegiatan alih teknologi pertanian, penataan system pemerintahan kerajaan di Bali disesuaikan penataannya atas petunjuk arahan Dhang Guru Nabe sebagai pejabat tinggi Majapahit yang diberikan otoritas dan mission untuk menertibkan dan mengamankan daerah taklukan Bali. Mencermati kiprah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa lebih dari 9 tahun di Bali maka dapat diambil kesimpulan bahwa figure sejarah Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dapat disebut sebagai tokoh Cultural-Hero pembaharu system sosio cultural masyarakat pada jamannya di Bali sejajar dengan peranan dan kiprah Rsi Markandya, Mpu Kuturan dan Dhang Hyang Nirartha di Bali. Sebagai pahlawan budaya Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa dalam kiprahnya di Bali diketahui merintis budaya pemberdayaan masyarakat mulai dari penataan system pemerintahan, system kemasyarakatan dan merubah serta menata sosiokultural masyarakat yang diadopsi dari system sosiokultural yang dianut di Kerajaan Majapahit.
Ketiga figure sejarah di Bali itu masing-masing Dhang Hyang Subali berpesraman di Tohlangkir, Dhang Hyang Jaya Rembat berpesraman di Sila Parwata dan Paduka Parameswara Sri Wijaya Rajasa berpesraman di Pura Dalem Tengaling Kabupaten Bangli sehingga di Bali beliau lebih dikenal dengan sebutan Dalem Keling.
Sang Angga Tirta sebagai cikal bakal leluhur Maha Gotra Tirta Harum di Bali diketahui beristtri Ni Luh Ayu Sadri. Dari perkawinannya yang adhi luhung lahir putra-putra bernama Sang Anom, Sang Telabah, Sang Rurung dan Sang Anjingan.
Sang Anom dalam blantika sejarah dikenal dengan sebutan Sang Garbhajata oleh Dalem Waturenggong diangkat sebagai Manca  di Tamanbali dan bergelar I Dewa Tamanbali.
Tonggak sejarah dinobatkannya Sang Garbhajata sebagai raja Tamanbali itu merupakan moment historis yang sangat penting sebagai babak baru lahirnya Kerajaan Tamanbali dalam blantika sejarah Bali yang jarang dituangkan secara tekstual baik oleh para rakawi yang menulis babad maupun penulis pamancangah.
Di jaman dahulu sebutan atau predikat “ sang “ dipakai sebagai identitas diri, tetapi karena telah beralih jabatan dan fungsi sebagai raja, maka predikat itu berangsur-angsur ditinggalkan. Akan tetapi mereka-mereka yang dikenal sebagai keturunan dari Sang Telabah, Sang Rurung, dan Sang Anjingan menurut tradisi lisan atau sejarah lisan tetap memakai predikat “ presanghyang “. Jejak sejarah yang gelap tentang keturunan atau leluhur soroh sang itu yang diketahui sampai saat ini ada yang menyebut diri sebagai soroh Sang Kengetan, Sang Kelingan, Sang Kembengan, Sang Bentuyung, Sang Keliki, Sang Bukit dan Sang Kaler.
Mereka yang dikenal dengan sebutan soroh sang ini secara historis juga adalah tercatat dalam realita sejarah tentu menjadi satu leluhur dalam keluarga besar Maha Gotra Tirta Harum.













Ref :

        Masa Akhir Majapahit Oleh Dr. Hasan Djafar

        Menuju Puncak Kemegahan Majapahit Oleh Prof. Dr. SLamet Mulyono
        Sejarah Maha Gotra Tirta Haruh Tim Penulis : I Dewa Gede Oka, dkk

        Prasasti ring Tambahan Kelod, Sejarah Maha Gotra Tirta  Harum  : I Dewa Made Raka
        http://www.dalemsilaadri.com/menelusuri-kawitan-maha-gotra-tirta-harum
        http://diarthanida.net/sejarah-mahagotra-tirtha-harum/    
        https://www.ancestry.com/connect/profile/
        https://www.ancestry.com/family-tree/tree/151969206/family
 


“ Om Santih, Santih, Santih, Om”. 
   Dumogi Rahayu
Read More
Newer Posts Older Posts Home

KSATRIA BRAHMANA WANGSA TREH TIRTA HARUM SATRIA TAMAN BALI "IDEWA TAMBAHAN" di TAMBAHAN KELOD

dewa gede ramayadi
View my complete profile

Recent Posts

Arsip Pencerahan Dumogi Mapikenoh

  • ►  1998 (2)
    • ►  May (1)
    • ►  August (1)
  • ►  1999 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2000 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2002 (1)
    • ►  August (1)
  • ►  2011 (1)
    • ►  March (1)
  • ▼  2012 (6)
    • ►  February (2)
      • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    • ►  May (1)
      • TRI HITA KARANA
    • ►  June (1)
      • DEWI SARASWATI Saraswati (Sarasvatī ) berasal ...
    • ▼  July (2)
      • TUMPEK LANDEP
      • HARI RAYA PAGERWESI
  • ►  2013 (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2014 (3)
    • ►  April (2)
    • ►  August (1)
  • ►  2016 (1)
    • ►  February (1)
  • ►  2017 (4)
    • ►  April (2)
    • ►  June (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2019 (4)
    • ►  January (1)
    • ►  June (1)
    • ►  July (1)
    • ►  September (1)
  • ►  2020 (2)
    • ►  February (1)
    • ►  October (1)
  • ►  2022 (1)
    • ►  January (1)
  • ►  2025 (1)
    • ►  April (1)

Popular Posts

  • BABAD LELUHUR MAHA GOTRA TIRTA HARUM
    Om Swastyastu, BABAD LELUHUR  MAHA GOTRA TIRTA HARUM Tiga Tokoh sejarah yang menjadi legenda di Bali masing-masing D...
  • LANDASAN DASAR, TATA CARA, PERSIAPAN, MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
    Om Swastyastu, Sembahyang atau sering juga disebut muspa kramaning sembah  merupakan jalan dan salah satu cara Memuja Tuhan. salah s...
  • KIDUNG - KIDUNG
    KIDUNG DEWA YADNYA Kawitan Warga Sari - Pendahuluan sembahyang Purwakaning angripta rumning wana ukir. Kahadang labuh. Ka...

Categories

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA
  • HARI RAYA SIWARATRI
  • LANDASAN DASAR
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU
  • PANCA SRADHA
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI)
  • PERSIAPAN
  • SEJARAH AGAMA HINDU
  • TATA CARA

Report Abuse

Followers

Search This Blog

Link list 3

  • GALUNGAN --> RANGKAIAN UPACARA DAN MAKNA FILOSOFINYA (1)
  • HARI RAYA SIWARATRI (1)
  • LANDASAN DASAR (1)
  • MANTRAM KRAMANING SEMBAH dan DOA SEHARI - HARI HINDU (1)
  • PANCA SRADHA (1)
  • PENGERTIAN DAN MAKNA UPACĀRA MAPANDES (POTONG GIGI) (1)
  • PERSIAPAN (1)
  • SEJARAH AGAMA HINDU (1)
  • TATA CARA (1)

Dumogi Rahayu Semeton Titiang Sareng Sami

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Copyright © DEWA GEDE RAMAYADI