Hari Raya Pagerwesi
Kata
“pagerwesi” artinya pagar dari besi. Ini me-lambangkan suatu perlindungan yang
kuat. Segala sesuatu yang dipagari berarti sesuatu yang bernilai tinggi agar
jangan mendapat gangguan atau dirusak. Hari Raya Pagerwesi sering diartikan
oleh umat Hindu sebagai hari untuk memagari diri yang dalam bahasa Bali disebut
magehang awak. Nama Tuhan yang dipuja pada hari raya ini adalah Sanghyang
Pramesti Guru.
Sanghyang
Paramesti Guru adalah nama lain dari Dewa Siwa sebagai manifestasi Tuhan untuk
melebur segala hal yang buruk. Dalam kedudukannya sebagai Sanghyang Pramesti
Guru, beliau menjadi gurunya alam semesta terutama manusia. Hidup tanpa guru
sama dengan hidup tanpa penuntun, sehingga tanpa arah dan segala tindakan jadi
ngawur.
Hari
Raya Pagerwesi dilaksanakan pada hari Budha (Rabu) Kliwon Wuku Shinta. Hari
raya ini dilaksanakan 210 hari sekali. Sama halnya dengan Galungan, Pagerwesi
termasuk pula rerahinan gumi, artinya hari raya untuk semua masyarakat, baik
pendeta maupun umat walaka. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
“Budha
Kliwon Shinta Ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring
watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwa tumitah sarwatumuwuh ring bhuana
kabeh.”
Artinya:
Rabu
Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang
diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang
lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Pelaksanaan
upacara/upakara Pagerwesi sesungguhnya titik beratnya pada para pendeta atau
rohaniawan pemimpin agama. Dalam lontar Sundarigama disebutkan:
Sang
Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara.
Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca 0Maha Bhuta, sewarna anut
urip gelarakena ring natar sanggah.
Artinya:
Sang
Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang
Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada
labaan (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi)
lima warna menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat
persembahyangan).
Hakikat
pelaksanaan upacara Pegerwesi adalah lebih ditekankan pada pemujaan oleh para
pendeta dengan melakukan upacara Ngarga dan Mapasang Lingga.
Tengah
malam umat dianjurkan untuk melakukan meditasi (yoga dan samadhi). Banten yang
paling utama bagi para Purohita adalah “Sesayut Panca Lingga” sedangkan
perlengkapannya Daksina, Suci Praspenyeneng dan Banten Penek. Meskipun hakikat
hari raya Pagerwesi adalah pemujaan (yoga samadhi) bagi para Pendeta (Purohita)
namun umat kebanyakan pun wajib ikut merayakan sesuai dengan kemampuan. Banten
yang paling inti perayaan Pegerwesi bagi umat kebanyakan adalah natab Sesayut
Pagehurip, Prayascita, Dapetan. Tentunya dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan.
Dalam hal upacara, ada dua hal banten pokok yaitu Sesayut Panca Lingga untuk
upacara para pendeta dan Sesayut Pageh Urip bagi umat kebanyakan.
Makna
Filosofi
Sebagaimana
telah disebutkan dalam lontar Sundarigama, Pagerwesi yang jatuh pada Budha
Kliwon Shinta merupakan hari Payogan Sang Hyang Pramesti Guru diiringi oleh
Dewata Nawa Sangga. Hal ini mengundang makna bahwa Hyang Premesti Guru adalah
Tuhan dalam manifestasinya sebagai guru sejati.
Mengadakan
yoga berarti Tuhan menciptakan diri-Nya sebagai guru. Barang siapa menyucikan
dirinya akan dapat mencapai kekuatan yoga dari Hyang Pramesti Guru. Kekuatan
itulah yang akan dipakai memagari diri. Pagar yang paling kuat untuk melindungi
diri kita adalah ilmu yang berasal dari guru sejati pula. Guru yang sejati
adalah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu inti dari perayaan Pagerwesi itu adalah
memuja Tuhan sebagai guru yang sejati. Memuja berarti menyerahkan diri, menghormati,
memohon, memuji dan memusatkan diri. Ini berarti kita harus menyerahkan
kebodohan kita pada Tuhan agar beliau sebagai guru sejati dapat megisi kita
dengan kesucian dan pengetahuan sejati.
Pada
hari raya Pagerwesi adalah hari yang paling baik mendekatkan Atman kepada
Brahman sebagai guru sejati . Pengetahuan sejati itulah sesungguhnya merupakan
“pager besi” untuk melindungi hidup kita di dunia ini. Di samping itu Sang
Hyang Pramesti Guru beryoga bersama Dewata Nawa Sanga adalah untuk
“ngawerdhiaken sarwa tumitah muang sarwa tumuwuh.”
Ngawerdhiaken
artinya mengembangkan. Tumitah artinya yang ditakdirkan atau yang terlahirkan.
Tumuwuh artinya tumbuh-tumbuhan.
Mengembangkan
hidup dan tumbuh-tumbuhan perlulah kita berguru agar ada keseimbangan.
Dalam
Bhagavadgita disebutkan ada tiga sumber kemakmuran yaitu:
Krsi
yang artinya pertanian (sarwa tumuwuh).
Goraksya,
artinya peternakan atau memelihara sapi sebagai induk semua hewan.
Wanijyam,
artinya perdagangan. Berdagang adalah suatu pengabdian kepada produsen dan
konsumen. Keuntungan yang benar, berdasarkan dharma apabila produsen dan
konsumen diuntungkan. Kalau ada pihak yang dirugikan, itu berarti ada
kecurangan. Keuntungan yang didapat dari kecurangan jelas tidak dikehendaki
dharma.
Kehidupan
tidak terpagari apabila tidak berkembangnya sarwa tumitah dan sarwa tumuwuh.
Moral manusia akan ambruk apabila manusia dilanda kemiskinan baik miskin moral
maupun miskin material. Hari raya Pagerwesi adalah hari untuk mengingatkan kita
untuk berlindung dan berbakti kepada Tuhan sebagai guru sejati. Berlindung dan
berbakti adalah salah satu ciri manusia bermoral tanpa kesombongan.
Mengembangkan
pertanian dan peternakan bertujuan untuk memagari manusia dari kemiskinan
material. Karena itu tepatlah bila hari raya Pagerwesi dipandang sebagai hari
untuk memerangi diri dengan kekuatan meterial. Kalau kedua hal itu (pertanian
dan peternakan) kuat, maka adharma tidak dapat masuk menguasai manusia. Yang
menarik untuk dipahami adalah Pagerwesi adalah hari raya yang lebih diperuntukkan
para pendeta (sang purohita). Hal ini dapat dipahami, karena untuk menjangkau
vibrasi yoga Sanghyang Pramesti Guru tidaklah mudah. Hanya orang tertentu yang
dapat menjangkau vibrasi Sanghyang Pramesti Guru. Karena itu ditekankan pada
pendeta dan beliaulah yang akan melanjutkan pada masyarakat umum. Dalam agama
Hindu, purohita adalah adi guru loka yaitu guru utama dari masyarakat. Sang
Purohita-lah yang lebih mampu menggerakkan atma dengan tapa brata.
Dalam
Manawa Dharmasastra V, 109 disebutkan:
Atma
dibersihkan dengan tapa bratabudhi dibersihkan dengan ilmu pengetahuan (widia)
manah (pikiran) dibersihkan dengan kebenaran dan kejujuran yang disebut satya.
Penjelasan
Manawa Dharmasastra ini adalah bahwa atma yang tidak diselimuti oleh awan
kegelapan dari hawa nafsu akan dapat menerima vibrasi spiritual dari Brahman.
Vibrasi spiritual itulah sebagai pagar besi dari kehidupan dan itu pulalah guru
sejati. Karena itu amat ditekankan pada Hari Raya Pagerwesi para pendeta agar
ngarga, mapasang lingga.
Ngarga
adalah suatu tempat untuk membuat tirtha bagi para pendeta. Sebelum membuat
tirtha, terlebih dahulu pendeta menyucikan arga dengan air, dengan pengasepan
sampai disucikan dengan mantra-mantra tertentu sehingga tirtha yang dihasilkan
betul-betul amat suci. Pembuatan tirtha dalam upacara-upacara besar dilakukan
dengan mapulang lingga. Tirtha suci itulah yang akan dibagikan kepada umat.
Mengingat ngargha mapasang lingga dianjurkan oleh lontar Sundarigama pada hari
Pagerwesi ini, berarti para pendeta harus melakukan hal yang amat utama untuk
mencapai vibrasi spiritual payogan Sanghyang Pramesti Guru.
Sesayut
Panca Lingga dengan inti ketipat Lingga adalah memohon lima manifestasi Siwa
untuk memberikan benteng kekuatan (pager besi) dalam menghadapi hidup ini. Para
pendetalah yang mempunyai kewajiban menghadirkan lebih intensif dalam
masyarakat. Kemahakuasaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai Siwa dengan simbol
Panca Lingga, Sesayut Pageh Urip bagi kebanyakan atau umat yang masih walaka.
Kata “pageh” artinya “pagar” atau “teguh” sedangkan “urip” artinya “hidup”.
“Pageh urip” artinya hidup yang teguh atau hidup yang terlindungi. Kata
“sesayut” berasal dari bahasa Jawa dari kata “ayu” artinya selamat atau
sejahtera.
Natab
Sesayut artinya mohon keselamatan atau kerahayuan. Banten Sesayut memakai alas
sesayut yang bentuknya bundar dan maiseh dari daun kelapa. Bentuk ini
melambangkan bahwa untuk mendapatkan keselamatan haruslah secara bertahap dan
beren-cana. Tidak bisa suatu kebaikan itu diwujudkan dengan cara yang ambisius.
Demikianlah sepintas filosofi yang terkandung dalam lambang upacara Pagerwesi.
Di
India, umat Hindu memiliki hari raya yang disebut Guru Purnima dan hari raya
Walmiki Jayanti. Upacara Guru Purnima pada intinya adalah hari raya untuk
memuja Resi Vyasa berkat jasa beliau mengumpulkan dan mengkodifikasi kitab suci
Weda. Resi Vyasa pula yang menyusun Itihasa Mahabharatha dan Purana. Putra
Bhagawan Parasara itu pula yang mendapatkan wahyu ten-tang Catur Purusartha
yaitu empat tujuan hidup yang kemudian diuraikan dalam kitab Brahma Purana.
Berkat
jasa-jasa Resi Vyasa itulah umat Hindu setiap tahun merayakan Guru Purnima
dengan mengadakan persembahyangan atau istilah di India melakukan puja untuk
keagungan Resi Vyasa dengan mementaskan berbagai episode tentang Resi Vyasa.
Resi Vyasa diyakini sebagai adi guru loka yaitu gurunya alam semesta.
Sedangkan
Walmiki Jayanti dirayakan setiap bulan Oktober pada hari Purnama. Walmiki
Jayanti adalah hari raya untuk memuja Resi Walmiki yang amat berjasa menyusun
Ramayana sebanyak 24.000 sloka. Ke-24. 000 sloka Ramayana itu dikembangkan dari
Tri Pada Mantra yaitu bagian inti dari Savitri Mantra yang lebih populer dengan
Gayatri Mantra. Ke-24 suku kata suci dari Tri Pada Mantra itulah yang berhasil
dikembangkan menjadi 24.000 sloka oleh Resi Walmiki berkat kesuciannya. Sama
dengan Resi Vyasa, Resi Walmiki pun dipuja sebagai adi guru loka yaitu maha
gurunya alam semesta.
Sampai
saat ini Mahabharata dan Ramayana yang disebut itihasa adalah merupakan pagar
besi dari manusia untuk melindungi dirinya dari serangan hawa nafsu jahat.
Jika
kita boleh mengambil kesimpulan, kiranya Hari Raya Pagerwesi di Indonesia
dengan Hari Raya Guru Purnima dan Walmiki Jayanti memiliki semangat yang searah
untuk memuja Tuhan dan resi sebagai guru yang menuntun manusia menuju hidup
yang kuat dan suci. Nilai hakiki dari perayaan Guru Purnima dan Walmiki Jayanti
dengan Pegerwesi dapat dipadukan. Namun bagaimana cara perayaannya, tentu lebih
tepat disesuaikan dengan budaya atau tradisi masing-masing tempat. Yang penting
adalah adanya pemadatan nilai atau penambahan makna dari memuja Sanghyang
Pramesti Guru ditambah dengan memperdalam pemahaman akan jasa-jasa para resi,
seperti Resi Vyasa, Resi Walmiki dan resi-resi yang sangat berjasa bagi umat
Hindu di Indonesia.
(Sumber:
Buku “Yadnya dan Bhakti” oleh Ketut Wiana, terbitan Pustaka Manikgeni)
http://www.parisada.org/